Mesin Pencari Situs

Google
WWW Mbahsoso Blog
Welcome Myspace Comments
MyNiceSpace.com
Assalamualaikum WR.Wb.
Silahkan Menjelajah Di Situs Mbahsoso, Kami Sangat Mengharapkan Jika Anda Dapat Memberikan Komentar Atau Mengirim Naskah/Artikel menarik Yang Dapat Kami Posting Di Situs Kami Ini. Silahkan Kirimkan Ke Email Kami Di mbahsoso@gmail.com Atau Isikan Di Form E-mail yg Telah Kami Sediakan Di Menu Kontak Kami. Terima Kasih
Wassalamualaikum Wr.Wb

Selasa, 29 Juli 2008

Berbakti Kepada Orang Tua

Bersilaturrahim dan berbuat baik kepada orang tua merupakan ajaran yang menjadi ketetapan Kitabullah Al-Qur'an dan Al-Hadits. Allah Ta'ala berfirman: "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya". (Al-Isra': 23)

Wa Qadha Rabbuka berarti suatu perintah yang lazim tidak bisa ditawar-tawar lagi dan Alla Ta'budu Illa Iyahu berarti perintah ibadah yang bersifat individu.

Allah menghubungkan beribadah kepada-Nya dengan berbuat baik kepada orang tua menunjukkan betapa mulianya kedudukan orang tua dan birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua) di sisi Allah.

Secara naluri orang tua dengan suka rela mau mengorbankan segala sesuatu untuk memelihara dan membesarkan anak-anaknya dan anak mendapatkan kenikmatan serta perlindungan sempurna dari kedua orang tuanya.

Seorang anak selalu merepotkan dan menyita perhatian orang tuanya dan tatkala menginjak masa tua mereka pun tetap berbahagia dengan keadaan putra-putrinya, akan tetapi betapa cepat seorang anak melalai-kan semua jasa-jasa orang tuanya, hanya disibukkan dengan isteri dan anak sehingga para bapak tidak perlu lagi menasihati anak-anaknya hanya saja seorang anak harus diingatkan dan digugah perasaannya atas kewajib-an mereka terhadap orang tuanya yang sepanjang umurnya dengan berbagai kesulitan dihabiskan untuk mereka serta mengorbankan segala yang ada demi kesenangan dan kebahagiaan mereka hingga datang masa lelah dan letih.

Maka berbuat baik kepada kedua orang tua menjadi keputusan mutlak dari Allah dan ibadah yang menempati urutan kedua setelah beribadah kepada Allah: "Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliha-raanmu". (Al-Isra': 23)

Kibar atau kibarul sin artinya berusia lanjut, umur sudah mulai menua, punggung sudah mulai membung-kuk dan kulit sudah mulai keriput. 'Indaka yang berarti pemeliharaan yaitu suatu kalimat yang menggambarkan makna tempat berlindung dan berteduh pada saat masa tua, lemah dan tidak berdaya.

Allah Ta'ala berfirman: "Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka". (Al-Isra': 23)

Seakan-akan Allah berfirman; Bersopan santunlah kamu kepada orang tua! Dengan demikian ayat tersebut mengajarkan sikap sopan agar seorang anak tidak menunjukkan sikap kasar serta menyakitkan hati atau merendahkan kedua orang tua. Allah Ta'ala berfirman: "Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia".

Ini tingkatan yang lebih tinggi lagi yaitu keharusan bagi anak untuk selalu mengucapkan perkataan yang baik kepada kedua orang tua dan memperlihatkan sikap hormat serta menghargai. Allah Ta'ala juga berfirman: "Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang".

Seolah-olah sikap rendah diri memiliki sayap dan sayap tersebut direndahkan sebagai tanda penghormatan dan penyerahan diri dalam arti sikap rendah diri yang selayaknya diperintahkan kepada kedua orang tua, seba-gai pengakuan tulus atas kebaikan dan jasa-jasanya.

Allah Ta'ala berfirman: "Dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku kasihilah me-reka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Al-Isra': 24)

Penyebutan kondisi masa kecil yang lemah yang membutuhkan perawatan dari kedua orang tua meng-ingatkan kepada kondisi yang sama yang sedang dialami orang tua tatkala menginjak lanjut usia yang selalu membutuhkan kasih sayang dan perawatan semisal. Lalu memohon kepada Allah agar bisa memberi belas-kasih kepada mereka berdua sebagai pengakuan atas kekurangan dalam memberi kasihsayang secara sem-purna dan hanya Allahlah yang bisa memberi kasih-sayang atau perawatan yang sangat sempurna serta hanya Dialah yang mampu membalas semua kebaikan dengan sempurna yang tidak mungkin bagi anak untuk melakukannya.

Bukti kasih sayang Allah banyak sekali yang tampak pada makhluk lain. Suatu contoh cahaya mata-hari yang menyinari alam semesta, udara yang dihirup manusia melalui proses paru-paru, air berfungsi untuk minum, masak dan menyiram tanaman dan kasih sayang ibu terhadap anaknya yang muncul secara fitrah sebagai bukti nyata kasih sayang Allah Rabb semesta alam.

Orang mulia dan baik kepada kedua orang tua akan selalu tahu kedudukan serta kemuliaan orang tua, dia merasakan tatkala mencium tangan ibu atau bapak-nya seolah-olah dia bersujud dengan ruh dan perasaan-nya laksana bersujud kepada Allah, dia mendapatkan jati diri yang sebenarnya sebagai suatu rahasia dalam kehidupan. Semua itu menjadi bukti penghargaan dan penghormatan kepada kedua orang tua. Allah Ta'la berfirman: "Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya . Dan jika kedua-nya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti ke-duanya". (Al-Ankabut: 8).

Orang tua adalah kerabat terdekat yang mempu-nyai jasa yang tidak terhingga dan kasih sayang yang besar sepanjang masa sehingga tidak aneh bila hak-haknya juga besar.

Seorang anak wajib mencintai, menghormati dan memelihara orang tua walaupun keduanya musyrik atau berlainan agama, keduanya berhak untuk diberi kebaik-an dan pemeliharaan bukan mentaati dan mengikuti kesyrikan atau agamanya. Allah Ta'ala berfirman: "Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang ber-tambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun." (Luqman : 14)

Disebutkan berulang-ulang serta banyak sekali wasiat untuk seorang anak agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya di dalam Al-Qur'an dan wasiat Rasul shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak disebutkan wasiat orang tua untuk berbuat baik terhadap anaknya kecuali sedikit.

Karena kebaikan dan pengorbanan orang tua berupa jiwa, raga dan kekuatan yang tak terhitung tanpa berkeluh kesah dan meminta balasan dari anaknya, secara fitrah(naluri) sudah cukup sebagai pendorong kedua orang tua untuk bersikap demikian tanpa ditekan dengan wasiat. Adapun anak harus selalu diberi wasiat dan diingatkan agar senantiasa ingat akan jasa-jasa orang yang selama ini telah mencurahkan jiwa dan raga serta seluruh hidupnya dalam membesarkan dan mendidiknya. Apalagi seorang ibu selama mengandung mengalami banyak beban berat sebagaimana firman Allah Ta'ala (ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah), ibu lebih banyak menderita dalam membesarkan dan mengasuh anaknya, dan penderitaan di saat hamil tidak ada yang bisa merasakan payahnya kecuali kaum ibu juga.

Al-Bazzar meriwayatkan hadits dari Buraidah dari bapaknya bahwa ada seorang lelaki yang sedang thawaf sambil menggendong ibunya, lalu dia bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: " Apakah dengan ini saya sudah menunaikan haknya?" Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Belum! Walaupun se-cuil".

Dari Al-Miqdam bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah berwasiat agar kalian berbuat baik kepada ibu-ibumu, sesungguhnya Allah berwa-siat agar berbuat baik kepada bapak-bapakmu dan sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian agar berbuat baik kepada sanak kerabatmu". (Dishahih-kan oleh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah)

Anak adalah bagian hidup dan belahan hati orang tua, kasih sayangnya mengalir di dalam darah daging keduanya.

Dari 'Aqra' bin Habis sesungguhnya dia melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mencium Hasan, lalu dia berkata: "Sesung-guhnya saya mempunyai sepuluh orang anak dan saya tidak pernah mencium seorangpun di antara mereka. Beliau bersabda: "Sesungguhnya barangsiapa yang tidak menyayangi maka tidak akan disayang". (Muttafaq 'alaih)

Al-Ahnaf bin Qais rahimahullah ditanya tentang masalah sikapnya terhadap anak, maka beliau menjawab: Anak adalah buah hati, belahan jiwa dan tulang punggung, kita rela terhina bagaikan bumi rela diinjak demi mereka dan bagaikan langit yang siap menaungi hidup mereka dan kita siap menjadi senjata pelindung bagi mereka dalam menghadapi marabahaya. Jika mereka minta sesuatu kabulkanlah dan bila marah cari sesuatu yang menye-nangkan hatinya, maka mereka akan membalas kasih sayangmu dan berterimakasih atas setiap pemberian-mu. Janganlah kalian merasa berat dan terbebani oleh anakmu, sebab mereka akan mengacuhkan hidupmu dan menghendaki kematianmu serta segan mendekati-mu.

Apabila seorang anak di mata orang tua keduduk-annya seperti itu, seharusnya anak menempatkan posisi orang tua tidak kurang dari itu dalam menghormati dan memuliakan orang tua mereka sebagai bukti balas budi dan pengakuan terhadap kebaikan yang telah didapat dari orang tua. Di samping tetap melestarikan kewajiban silaturrahim kepada mereka berdua sesuai ketentuan Kitabullah.

Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tiga macam doa yang pasti terkabulkan; doa orang tua untuk anaknya, doa orang musafir dan doa orang yang teraniaya". (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, Al-Albani).

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meminta izin untuk ikut serta berjihad, maka beliau shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Apakah kedua orang tuamu masih hidup? Dia berkata: "Ya, masih hidup". Beliau bersabda: "Maka berjihadlah dalam (menjaga) keduanya".

Dari Abu Bakrah berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Maukah kalian aku ceritakan tentang dosa yang paling besar?" Kami menjawab: "Ya wahai Rasu-lullah". Beliau bersabda:
"Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua." Beliau waktu itu bersandar, maka terus duduk dan bersabda: "Ketahuilah, dan perkataan dusta". (Shahihul Jami')

Dari Abdullah Ibnu Mas'ud berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: Apakah amal yang paling dicintai Allah? Beliau menjawab: "Shalat pada waktunya." Saya bertanya: "Lalu apalagi?" Beliau bersabda: "Berbuat baik kepada orang tua". Saya bertanya: "Kemudian apalagi?" Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersab-da: "Jihad di jalan Allah". (Muttafaq 'alaih)

Dari Jabir bin Abdullah sesungguhnya seorang lelaki berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya saya mempunyai harta dan anak, dan bapak saya meng-inginkan hartaku. Maka beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Engkau dan hartamu adalah milik bapakmu". (Muttafaq 'alaih).

Dan petunjuk birrul walidain yang terbaik adalah sikap yang telah ditunjukkan oleh para nabi 'alaihimus shalatu wa salam sebagai simbol anutan dan petunjuk bagi setiap manusia.

Nabi Ismail 'alaihi salam berkata dan ucapannya diabadi-kan dalam firman Allah Ta'ala: "Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang bersabar". (Ash-Shafaat: 102).

Nabi Nuh 'alaihi salam berkata juga dan ucapannya dise-butkan dalam firman Allah Ta'ala: "Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman". (Nuh: 28)

Nabi Isa 'alaihi salam juga disifati oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya: "Dan berbakti kepada ibuku". (Maryam: 32)

Nabi Yahya 'alaihi salam juga disifati oleh Allah Ta'ala demikian yang disebutkan dalam firman Allah: "Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka". (Maryam: 14)

Betapa indahnya bila seorang muslim bisa mencontoh dan mengikuti jejak para nabi.

Wahai anakku siang malam sepanjang umurku, aku korbankan untukmu agar kalian berbahagia, kedua orang tuamu letih dan menderita serta hati gundah bila engkau sedang sakit dan wajahmu pucat. Anakku tercin-ta. Itulah kalimat yang sering diulang-ulang oleh seorang ibu atau bapak.

Wahai seorang anak! Ingatlah jasa kedua orang tuamu yang besar tatkala engkau masih berada dalam kandungan, di saat kau masih bayi dan setelah kau menginjak remaja hingga engkau menjadi orang dewasa. Sekarang tiba saatnya kedua orang tuamu membutuh-kan kasih sayang dan perhatian darimu. Sementara engkau hanya sibuk mengurusi isteri dan anak-anakmu hingga orang tuamu engkau abaikan, padahal orang arab jahiliyah dulu menganggap aib dan harga diri jatuh jika ada seorang anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya. Peribahasa-peribahasa Arab menceritakannya, menuduhnya dengan gambaran yang sangat jelek sekali bahkan memberinya julukan dengan julukan-julukan yang sangat keji. Akan tetapi kita membaca banyak cerita di zaman sekarang tentang cerita anak-anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya.

Abu Ubaidah At-Taimy dalam kitabnya, Al-'Aqaqah wal Bararah menuturkan beberapa contoh orang-orang yang berbuat baik kepada kedua orang tuanya dan beberapa contoh orang-orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya. Seorang dari bani Qurai' bernama Murrah bin Khattab bin Abdullah bin Hamzah pernah mengejek dan terkadang memukul orang tuanya, se-hingga bapaknya berkata:

Saya besarkan dia tatkala dia masih kecil bagaikan anak burung yang baru lahir yang masih lemah tulang-belulangnya. Induknya yang menyuapi makan sampai melihat anaknya sudah mulai berkulit sempurna.

Dan contoh lain yang durhaka kepada orang tua-nya adalah putra Umi Tsawab Al-Hazaniyah, dia durhaka kepada ibunya karena isterinya selalu menghalangi untuk berbuat baik kepada ibunya, sehingga ibunya mengungkapkan kepedihan hati dalam sebuah syair:

Saya mengasuhnya di masa kecil tatkala masih seper-ti anak burung, sementara induknya yang menyuapi makanan dan melihat kulitnya yang masih baru tumbuh.

Setelah dewasa dia merobek pakaianku dan me-mukul badanku, apakah setelah masa tuaku aku harus mengajari etika dan adab.

Dan juga Yahya bin Yahya bin Said, suatu ketika dia pernah menyusahkan bapaknya lalu bapaknya meng-hardiknya dengan menulis syair:

Semenjak lahir dan masa bayi yang masih kecil aku mengasuhmu, dan saya selalu berusaha agar engkau menjadi orang tinggi dan berkecukupan.

Di malam hari engkau mengeluh sakit hingga tidak bisa tidur. Keluhan itu membuatku gundah dan ketakutan.

Jiwa selalu gelisah memikirkan keselamatan untuk dirimu, sebab aku tahu setiap jiwa terancam oleh ke-matian.

Contoh-contoh di atas merupakan sebagian dari beberapa kasus anak durhaka kepada kedua orang tua-nya yang terjadi pada masa lampau dan sekarang.

Dan di dalam sebagian lagu-lagu masyarakat jahili-yah dahulu, yang sering para wanita lantunkan adalah: Ya Allah, apa yang harus saya perbuat terhadap anakku yang durhaka, di masa kecil aku dengan susah payah membesarkannya, setelah menikah dengan seorang putri Romawi dia berbuat semena-mena terhadapku. Wanita ini mengadu kepada Allah terhadap sikap anaknya yang telah diasuh dengan susah payah, tetapi setelah menikah dengan wanita nasrani Romawi, dia melupakan ibunya.

Adapun contoh orang-orang yang berbuat baik kepada orang tua antara lain; cerita tiga orang yang terjebak dalam gua, di antara mereka ada yang mengata-kan: "Tidak ada cara yang mampu menyelamatkan kalian kecuali bertawassul dengan amal shalih kalian. Seorang di antara mereka berdo'a: "Ya Allah saya mempunyai dua orang tua yang lanjut usia dan saya sekeluarga tidak makan dan minum di malam hari sebelum mereka berdua, pada suatu saat saya pernah pergi jauh untuk suatu keperluan sehingga saya pulang terlambat dan sesampainya di rumah saya mendapatkan mereka berdua dalam keadaan tidur. Lalu saya memerah susu untuk malam itu, tetapi mereka berdua masih tetap tidur pulas, sementara saya tidak suka jika makan dan minum sebelum mereka. Akhirnya saya menunggu sambil memegang susu hingga mereka berdua ter-bangun, sampai fajar terbit mereka berdua baru bangun lalu meminum susu. Ya Allah jika perbuatan yang telah aku kerjakan tersebut termasuk perbuatan ikhlas karena mencari wajahMu, maka hilangkanlah kesulitan kami dari batu besar ini, lalu batu itu pun bergeser dari mulut gua.

Masih banyak contoh-contoh lain tentang orang-orang yang berbakti kepada orang tua baik di masa lampau maupun sekarang yang tidak mungkin kita ceritakan seluruhnya, kebaikan tersebut mereka per-sembahkan kepada orang tua sebagai balasan atas jasa-jasa, perhatian dan pemeliharaan mereka dan sebagai bukti pengakuan tulus dan akhlak mulia. Ini semua mengharuskan kepada setiap anak untuk mengingat kebaikan yang selalu mengalir tak ada hentinya hingga akhir hayat.

Sebagian orang-orang shalih sebelum berangkat kerja ada yang menyempatkan diri singgah ke rumah orang tuanya sambil mencium tangannya untuk memin-ta restu dan menanyakan keadaan serta kesehatan mereka. Lalu berangkat ke tempat kerja. Sikap mulia dan terpuji ini, sangat baik jika dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat.

Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Hu-rairah bahwa dia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Celakalah, celakalah". Beliau ditanya: "Siapa wahai Rasulullah? Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seseorang yang mendapati orang tuanya, dan salah satu atau keduanya berusia lanjut, kemudian tidak masuk Surga".

Dari Abdullah bin Umar berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tiga orang tidak masuk Surga dan tidak dilihat Allah pada hari Kiamat; Orang yang durhaka kepa-da orang tua, wanita yang menyerupai laki-laki dan dayyuts. (HR. Ahmad)

Durhaka kepada orang tua adalah perbuatan zhalim besar dan sikap tidak tahu diri.

Rasulullah yang mengajari umat manusia etika dan tata krama mengetahui kedudukan dan fungsi seorang ibu dan bapak kemudian memberikan petunjuk kepada setiap orang mukmin agar menjadi umat yang bertang-gung jawab.

Di antara bentuk birrul walidain setelah orang tuanya meninggal adalah dengan menyambung hubung-an kerabat dengan teman dan sahabat orang tuanya.

Dari Abdullah bin Umar berkata sesungguhnya saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya perbuatan yang terbaik adalah me-nyambung hubungan kerabat dengan sahabat orang tuanya". (Shahihul Jami', Al-Albani)

Bukti cinta dan berbakti kepada orang tua adalah menghormati dan menjaga hubungan persahabatan orang tua dengan teman-temannya. Pada saat seseorang mempererat hubungan persahabatan dengan teman bapaknya, merupakan bukti dalam berbakti kepada orang tua dan pertanda hasil baik pendidikan orang tua kepada anak.

Imam Muslim dalam kitab shahihnya menyebutkan tentang bab keutamaan menyambung hubungan persa-habatan dengan teman-teman bapak atau ibu. Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya perbuatan yang terbaik adalah menyambung hubungan persahabatan dengan saha-bat orang tuanya".

Dan juga hadits tentang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam meng-hormati teman-teman Khadijah setelah wafatnya.

Para ulama mengatakan bahwa al-birr bermakna menyambung silaturrahim, menyayangi dan berbuat ke-baikan serta menjaga persahabatan. Seluruhnya termasuk bagian inti kebaikan. (Kholid Ar Rasyid)

Jumat, 18 Juli 2008

Kumpulan Artikel

  1. Rukun Islam
  2. Tauhid
  3. Islam Adalah Darah Dagingmu
  4. Imam Syafi'i
  5. Imam Maliki
  6. Islam : Antara Multikulturalisme & Fundamentalisme
  7. Silaturahmi
  8. Dunia & Amalan Shalih
  9. Mengatur Hari-Hari Penuh Barokah
  10. Perkembangan Islam Di Eropa
  11. Berbakti Kepada Kedua Orang Tua
  12. Nasehat Rasulullah Menyambut Ramadhan

Kontak Kami

Tinggalkan Pesan & Kesan Di Form ini Atau Kirim Naskah/Cerita/Artikel Menarik Ke Alamat E-mail Kami : mbahsoso@gmail.com









Nama :




Alamat :




Jenis Kelamin :



Laki-2



Perempuan


E-mail :




Subyek :




Pesan /Kesan/Naskah/Artikel





Rabu, 09 Juli 2008

Dunia Dan Amalan Shalih


Imam Nawawi dalam muqodimah kitab beliau yang sangat bermanfaat, Riyadus Shalihin. Beliau berkata, Allah berfirman
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إلاَّ لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ منْهُمْ مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونَ Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan (Adz-Dzariaat:56.57)
Imam Nawawi dalam muqodimah kitab beliau yang sangat bermanfaat, Riyadus Shalihin. Beliau berkata, Allah berfirman
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إلاَّ لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ منْهُمْ مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونَ Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan (Adz-Dzariaat:56.57) Ayat diatas merupakan keterangan yang sangat jelas bahwa jin dan manusia diciptakan untuk beribadah. Oleh karena itu sudah semestinya mereka memperhatikan untuk apa mereka diciptakan, seraya berpaling dari kemewahan kemegehan dunia dengan bersikap zuhud, karena dunia merupakan alam fana yang tidak akan kekal. Dunia hanyalah merupakan jembatan yang menghubungkan ke alam akhirat, bukan tempat untuk bersenang-senang dan tempat tinggal yang abadi. Oleh karena itu, orang-orang yang sadar dan memahami akan benar-benar melaksanakan ibadah dan orang-orang yang sehat akalnya adalah orang-orang yang zuhud. Allah berfirman
إنَّمَا مَثَلُ الحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَآءِ فَأخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الأرْضِ ممَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالأَنْعَامُ حَتَّى إذَا أَخَذَتِ الأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَأزَّيَّنَتْ وَظَنَّ أهْلُهَا أنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيها أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلاً أَو نَهَاراً فَجَعَلْنَاهَا حَصِيداً كَأَن لَّمْ تَغْنَ بِالأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir (Yuunus: 24)Salah seorang penyair berkata
إِنَّ للهِ عِبَاداً فُطَنَا طَلَّقُوا الدُّنْيَا وخَافُوا الفِتَنَانَظَروا فيهَا فَلَمَّا عَلِمُوا أَنَّهَا لَيْسَتْ لِحَيٍّ وَطَنَاجَعَلُوها لُجَّةً واتَّخَذُوا صَالِحَ الأَعمالِ فيها سُفُنا
Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang cerdas, yaitu yang tidak mementingkan dunia dan takut akan fitnahMereka senantiasa memperhatikan, maka ketika mengetahui, dunia ini bukanlah tempat tinggal selama-lamanya bagi yang hidup.Merekapun menjadikan dunia bagaikan samudra dan menjadikan amalan shalih sebagai bahtera untuk berlayar mengarunginya

Mengatur Hari-Hari Agar Penuh Barokah



Mengatur Hari-hari Agar Penuh Barokah
By EmaLfath

Masa adalah keadaan lahir dan batin yang tengah dijalani seorang hamba. Sungguh merugi manusia kecuali orang yang tengah menetapi iman dan melaksanakan amal saleh. Karena itu Islam membimbing bagaimana seharusnya insan mengatur hari-harinya agar selalu berada dalam masa yang penuh keberuntungan. Berikut tulisan mengenai cara-cara mengatur hari-hari kita, dimulai dengan Menyambut Pagi.
Bangunlah sebelum fajar dan berdzikir, segera setelah itu, lalu berwudhu, kemudian shalat. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda: يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ عَلَى مَكَانِ كُلِّ عُقْدَةٍ: عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيْلٌ فَارْقُدْ. فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذِكْرَ اللهَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ تَوَضَّأَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ صَلَّى اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيْطاً طَيِّبَ النَّفْسِ وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيْثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ “Syaithan mengikat tengkuk salah seorang dari kalian saat ia tidur dengan tiga ikatan. Pada tiap-tiap ikatan itu, Syaithan menghembuskan: Tidurlah terus, malam masih larut. Maka, jika ia terbangun, hendaklah ia berdzikrullâh, sehingga terputuslah satu ikatan Syaithan itu. Jika ia (melanjutkannya dengan) berwudhu, maka terputus lagi satu ikatan Syaithan itu. Jika ia (meneruskannya dengan mengerjakan) shalat, maka terputus lagi satu ikatan Syaithan itu (sehingga ikatan Syaithan itu terputus seluruhnya). Dengan demikian, niscaya memancarlah ketangkasan dan kebersihan dari jiwanya, namun jika ia tidak melakukan hal-hal tersebut, maka memancarlah dari jiwanya kekotoran dan berbagai kemalasan.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[1], Muslim[2], Ahmad[3], Ibnu Mâjjaĥ[4], Abû Dâwûd[5] dan Mâlik[6]). Ini lafaz dari Al-Bukhâriy dalam Shahîhu l-Bukhâriy: Kitâbu t-Tahajjud. # Sebelum berwudhu, seyogyanya mencuci dulu kedua tangan di luar bejana dan beristintsâr (menghirup air ke dalam hidung lalu menghembuskannya) serta menggosok gigi. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda: إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِى وُضُوئِهِ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ “Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidur, maka cucilah tangannya sebelum ia mencelupkannya ke dalam air untuk wudhunya, karena sesungguhnya ia tidak tahu di mana tangannya itu terletak ketika tidur.” (Dikeluarkan oleh Muslim[7], Ahmad[8], Ibnu Mâjjaĥ[9], Ad-Darâmiy[10], Abû Dâwûd[11], At-Turmudziy[12], An-Nasâ-iy[13] dan Mâlik[14]). Ini lafaz dari Mâlik. Dalam hadîts yang diterima Ibnu Mâjjaĥ melalui jalur ‘Abdu r-Rahmân bin Ibrâhîm Ad-Dimasyqiy, pencucian tangan itu dilakukan sebanyak dua atau tiga kali. Kebanyakan riwayat menyatakan tiga kali, kecuali hadîts yang diriwayatkan oleh Mâlik serta sebagian dari yang diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Mâjjaĥ, yang tidak menyebutkan banyaknya pencucian. إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَبِيْتُ عَلَى خَيَاشِيْمِهِ “Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidur, maka ber-istintsâr-lah tiga kali, karena sesungguhnya Syaithan bermalam dalam rongga hidungnya.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[15], Muslim[16] dan An-Nasâ-iy[17]). Ini lafaz dari Muslim. لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ “Seandainya tidak memberatkan ummatku, aku benar-benar telah memerintahkan menggosok gigi setiap kali wudhu.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[18], An-Nasâ-iy[19] dan Mâlik[20]). Ini lafaz dari An-Nasâ-iy. Ibnu Khuzaimaĥ menilainya shahîh, sedangkan Al-Bukhâriy menilainya mu’allaq. # Jika berhajat ke kamar kecil atau WC, mencuci kedua tangan, beristintsâr serta menggosok gigi, dilakukan usai buang hajat. Dalam membuang hajat, tetapilah dengan seksama aturan dan adab-adabnya; sebab, “tidak bersih” dalam kencing saja sudah cukup menjadi jalan datangnya siksa kubur. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam pernah bersabda ketika melewati dua kuburan yang masih baru: إِنَّهُمَا لَيُعَذِّبَانِ وَمَا يُعَذِّبَانِ فِى كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَنْزِهُ مِنْ بَوْلِهِ وَأَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ يَمْشِى بِالنَّمِيْمَةِ “Sesungguhnya dua penghuni kubur ini benar-benar tengah ditimpa siksa; dan tidaklah keduanya disiksa karena dosa besar. Salah seorang dari mereka, disiksa karena tidak bersuci dari kencingnya; sedangkan yang satunya karena ia senang melakukan namîmah.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[21], Muslim[22], Ahmad[23], Ibnu Mâjjaĥ[24], Ad-Darâmiy[25], Abû Dâwûd[26], At-Turmudziy[27] dan An-Nasâ-iy[28]). Ini lafaz dari Ibnu Mâjjaĥ. # Jika dalam keadaan junub, setelah mencuci kedua tangan, beristintsâr serta menggosok gigi, lakukanlah mandi secara sempurna, sesuai aturan dan adab-adabnya, dan tidak mengapa mencukupkan wudhu dengannya. Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyaĥ t meriwayatkan: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ “Adalah Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam tidak lagi mengambil wudhu sesudah mandi.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[29], Ibnu Mâjjaĥ[30], At-Turmudziy[31] dan An-Nasâ-iy[32]). At-Turmudziy menyatakan hadîts yang diriwayatkannya: hasan shahîh. Ibnu Mâjjaĥ meriwayatkannya dengan lafaz: ba’da l-ghusli mina l-janâbaĥ (sesudah mandi junub). # Usai berwudhu (atau mandi) dengan sempurna, mengikuti aturan dan adab-adabnya, tunaikanlah dua raka’at shalat sunat wudhu, dan apabila “fajar shadiq” belum lagi terbit, bagi yang berniat shaum bisa mengerjakan sahur. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda: اَلْفجْرُ فَجْرَانِ فَجْرٌ يُحَرِّمُ الطَّعَامُ وَتَحِلُّ فِيْهِ الصَّلاةُ وَفَجْرٌ تَحْرُمُ فِيْهِ الصَّلاَةُ وَيَحِلُّ فِيْهِ الطَّعَامُ “Fajar itu ada dua: Fajar yang mengharamkan makan-minum, tetapi menghalalkan shalat; dan fajar yang mengharamkan di dalamnya mengerjakan shalat, tetapi menghalalkan makan-minum.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimaĥ dan Al-Hâkim[33]). Al-Hâkim men-shahîh-kan hadîts ini. Fajar yang pertama itulah yang disebut “Fajar Shadiq”; dan yang kedua, disebut “Fajar Kidzib”. مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ وُضُوْءَهُ ثُمَّ يَقُوْمُ فَيُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ مُقْبِلٌ عَلَيْهِمَا بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ إِلاَّ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ “Tidak seorang Muslim pun berwudhu dengan membaguskan wudhunya, kemudian berdiri menunaikan shalat dua raka’at dengan menghadapkan sepenuh hati dan wajahnya dalam shalat itu, melainkan wajib baginya Surga.” (Dikeluarkan oleh Muslim[34], Ahmad[35], Abû Dâwûd[36] dan An-Nasâ-iy[37]). # Apabila fajar shadiq telah terbit, tegakkanlah dua raka’at shalat sunat fajar. Mengenai shalat ini, ada riwayat dari Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyaĥ radhiallahu'anhu: لَمْ يَكُنْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدُّ مُعَاهَدَةً مِنْهُ عَلَى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ “Tidak pernah Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam amat sangat mementingkan suatu nawafil seperti halnya terhadap dua raka’at sebelum fajar.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[38], Muslim[39], Ahmad[40], Abû Dâwûd[41] dan An-Nasâ-iy[42]). Ini lafaz dari An-Nasâ-iy. Apabila luput dari melaksanakannya sebelum shalat shubh, laksanakanlah segera setelah shalat shubh, jika waktu shalat shubh belum berakhir. Qais bin ‘Amrû t meriwayatkan: خَرَجَ إِلَى الصُّبْحِ فَوَجَدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى الصُّبْحِ وَلَمْ يَكُنْ رَكَعَ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فَصَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ حِيْنَ فَرَغَ مِنَ الصُّبْحِ فَرَكَعَ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فَمَرَّ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: مَا هَذِهِ الصَّلاَةَ؟ فَأَخْبَرَهُ فَسَكَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَضَى وَلَمْ يَقُلْ شَيْئاً “Suatu hari, ia keluar ke Masjid untuk berjama’ah shalat shubh. Setibanya di sana, ia mendapatkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah shalat shubh, padahal ia belum menunaikan dua raka’at shalat fajar. Maka, ia pun shalat shubh bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Setelah selesai, segera ia melaksanakan dua raka’at shalat fajar. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu mendatanginya, dan bertanya: shalat apa ini? Ia pun memberitahu (bahwa itu shalat fajar). Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun diam dan berlalu, tidak mengatakan sepatah kata pun.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[43]). Al-‘Irâqiy menyatakan hadîts ini isnadnya jayyid. Jika waktu shubh sudah berakhir, matahari telah terbit, “qadhâ” shalat sunat fajar dilaksanakan sesudah matahari agak tinggi. ‘Imrân bin Hushain t meriwayatkan: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِى مَسِيْرٍ لَهُ فَنَامُوْا عَنْ صَلاَةِ الْفَجْرِ فَاسْتَيْقَظُوْا بِحَرِّ الشَّمْسِ فَارْتَفَعُوْا قَلِيْلاً حَتَّى اسْتَقَلَّتِ الشَّمْسُ ثُمَّ أَمَرَ مُؤَذِّناً فَأَذَّنَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَقَامَ ثُمَّ صَلَّى الْفَجْرَ “Dalam suatu perjalanan bersama Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam, rombongan tertidur hingga luput melaksanakan shalat fajar. Mereka terbangun saat matahari telah terbit. Lalu mereka melanjutkan perjalanan hingga matahari agak tinggi. Setelah itu, Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam pun menyuruh Muadzdzin untuk mengumandangkan adzan, dan beliau pun menunaikan dua raka’at shalat sunat fajar. Lalu dikumandangkanlah iqamah, maka kemudian beliau menunaikan shalat fajar.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[44], Abû Dâwûd[45] dan An-Nasâ-iy[46]). Ini lafaz dari Abû Dâwûd. Shalat fajar (dan, secara umum, shalat-shalat sunat lainnya) seyogyanya dilaksanakan di rumah. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda: صَلاَةُ الرَّجُلِ فِى بَيْتِهِ تَطَوُّعاً نُوْرٌ فَمَنْ شَاءَ نَوَّرَ بَيْتِهِ “Shalat tathawwu’ seseorang di rumahnya laksana cahaya; maka barangsiapa yang mau, cahayailah rumahnya.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[47]). # Usai shalat sunat fajar, jika shalat shubh belum lagi di-iqamah-kan, atau jika diperkirakan cukup waktu untuk berjalan ke Masjid, berbaringlah sejenak pada lambung kanan, atau, bercakap-cakap sejenak dengan anggota keluarga yang telah bangun. Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyah t meriwayatkan: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فإِنْ كُنْتُ نَائِمَةً اضْطَجَعَ وَإِنْ كُنْتُ مُسْتَيْقِظَةً حَدّثَنِي “Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam apabila telah menunaikan dua raka’at fajar, dan saya masih tidur, beliau pun berbaring; apabila saya sudah bangun, beliau bercakap-cakap dengan saya.” (Dikeluarkan oleh Muslim[48] dan Abû Dâwûd[49]). Ini lafaz dari Abû Dâwûd. Lalu pergi menuju Masjid untuk menunaikan shalat shubh berjama’ah. Berjalanlah dengan tenang, tidak terburu-buru, serta tidak mempersilangkan jari jemari atau bersidekap, dan berdo’alah sepanjang jalan. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda: إِذَا سَمِعْتُمُ اْلإِقَامَةَ فَامْشُوْا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِيْنَةِ والْوَقَارِ وَلاَ تُسْرِعُوْا فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا “Apabila kalian mendengar seruan shalat akan ditegakkan, maka pergilah shalat. Jagalah cara berjalan kalian, setenang dan setegap mungkin. Jangan terburu-buru. Maka yang kalian dapatkan dari shalat secara berjama’ah, lakukanlah, dan yang ketinggalan, sempurnakanlah.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[50], Muslim[51], Ahmad[52], Ibnu Mâjjaĥ[53], Abû Dâwûd[54], At-Turmudziy[55] dan Mâlik[56]). Ini lafaz dari Al-Bukhâriy. إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوْءَهُ ثُمَّ خَرَجَ عَامِداً إِلَى المَسْجِدِ فَلاَ يُشَبِّكَنَّ يَدَيْهِ فَإِنَّهُ فِى صَلاَةٍ (وفى لفظ) فَلاَ يُشَبِّكَنَّ بَيْنَ أَصَابِعِهِ “Apabila salah seorang dari kalian berwudhu, sempurnakanlah wudhunya. Kemudian, apabila ia keluar menuju Masjid dengan sengaja, maka janganlah ia bersidekap, atau, mempersilangkan jari jemari, karena saat berjalan itu ia berada dalam shalat.” (Dikeluarkan oleh Abû Dâwûd[57] dan At-Turmudziy[58]). CATATAN: Berjama’ah di Masjid bagi wanita dibolehkan dengan syarat, walaupun bagi mereka lebih baik shalat di rumah. Sabda Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam: لاَ تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ “Janganlah kalian melarang para wanita ke Masjid, namun di rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[59] dan Abû Dâwûd[60]). Ini lafaz dari Abû Dâwûd. لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ “Janganlah kalian melarang para wanita ke Masjid-masjid Allâh, namun hendaklah mereka keluar tanpa wewangian.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[61], Ad-Darâmiy[62] dan Abû Dâwûd[63]). # Sesampainya di Masjid, masuklah ke dalamnya dengan kaki kanan terlebih dahulu seraya membaca do’a. Mengenai mendahulukan kaki kanan dalam suatu urusan, ada riwayat dari Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyaĥ radhiall: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ التَّيَمُّنَ مَا اسْتَطَاعَ فِى شَأْنِهِ كُلِّهِ “Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam amat mementingkan bagian kanan dalam setiap urusannya.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[64], Muslim[65], Ahmad[66] dan Abû Dâwûd[67]). Ini lafaz dari Al-Bukhâriy dan Abû Dâwûd. Setibanya di dalam, berusahalah menempati shaff paling depan sebelah kanan, dan jangan melangkahi pundak-pundak orang lain, kecuali jika orang-orang menyia-nyiakannya (membiarkannya tidak terisi) --Pengecualian ini adalah pendapat sebagian Ahlu l-‘Ilmi lihat Al-Ghazâliy: Ihyâْ ‘Ulûma d-Dîn, Kitâb Asrâri sh-Shalât wa Mahmâtihâ, al-Bâbu l-Khâmis fî Fadhli l-Jum’ati wa Âdâbihâ wa Sunnanihâ wa Syurûtihâ, Bayânu Âdâbi l-Jum’ati ‘alâ Tartîbi l-‘Âdat, fî Hay-ati d-Dukhûli). Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الصَّفِّ اْلأَوَّلِ “Sesungguhnya Allâh dan para Malaikat-Nya bershalawat bagi shaff pertama.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[68], Ibnu Mâjjaĥ[69] dan Ad-Darâmiy[70]). Dalam buku Mishbâhu z-Zujâjah fî Zawâ-idin Ibni Mâjjaĥ disebutkan bahwa hadîts mengenai ini dari ‘Abdu r-Rahmân bin ‘Auf t yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjjaĥ, shahîh dan rijal-rijalnya tsiqât. Hadîts lain dari Al-Barâ` bin ‘Âzib t yang diriwayatkan oleh Ahmad dan An-Nasâ-iy menggunakan lafaz: ’alâ sh-shaffi l-muqaddami (atas shaf yang lebih awal). إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى مَيَامِنِ الصُّفُوْفِ “Sesungguhnya Allâh dan para Malaikat-Nya bershalawat bagi shaff sebelah kanan.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Mâjjaĥ[71] dan Abû Dâwûd[72]). مَنْ تَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ اتَّخِذَ جِسْراً إِلَى جَهَنَّمَ “Barangsiapa yang melangkahi pundak-pundak orang pada hari jum’at, ia telah mengambil jalan lintas menuju Jahannam.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Mâjjaĥ[73] dan At-Turmudziy[74]). Kemudian, tunaikanlah dua raka’at shalat sunat tahiyyatul masjid, sebelum duduk, kecuali jika shalat sudah di-iqamah-kan. Jika tidak (hendak) melakukannya, cukup membaca al-bâqiyyâtu sh-shâlihât satu, tiga atau empat kali (lihat Al-Ghazâliy: Bidâyatu l-Hidâyah, Âdâbu Dukhûli l-Masjid dan An-Nawawiy: Al-Adzkâr An-Nawawiyyah, Bâb Mâ Yaqûlu fî l-Masjid.). Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda: إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلِيَرْكِعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ “Apabila salah seorang dari kalian memasuki Masjid maka hendaklah ia tunaikan dua raka’at shalat, sebelum ia duduk.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[75], Muslim[76], Ahmad[77], An-Nasâ-iy[78] dan Mâlik[79]). Ibnu Mâjjaĥ meriwayatkannya dengan lafaz: fa l yushalli rak’ataini (maka hendaklah shalat dua raka’at). إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةُ “Apabila telah di-iqamah-kan shalat, maka tidak ada shalat kecuali yang diwajibkan.” (Dikeluarkan oleh Muslim[80], Ahmad[81], Ibnu Mâjjaĥ[82], Ad-Darâmiy[83], Abû Dâwûd[84] dan An-Nasâ-iy[85]). # Sesudah menunaikan shalat tahiyyatul masjid, dan shalat fardhu belum diserukan, berdzikirlah dan bertasbih, atau membaca Al-Qur-ân. Firman Allâh ta'ala: فِى بُيُوْتٍ أَذِنَ اللهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيْهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيْهَا بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَلِ رِجَالٌ “Bertasbih kepada Allâh para Rijâl di masjid-masjid yang telah diperintahkan-Nya untuk dimuliakan dan disebut-sebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan petang.” (An-Nûr 36-37). Apabila adzan dan iqamah diperdengarkan, hentikanlah semua aktifitas itu, dan jawablah seruan adzan atau iqamah, lalu di penghujungnya memanjatkan do’a. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda: إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ “Apabila kalian mendengar seruan adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh Muadzdzin.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâ-riy[86], Muslim[87], Ahmad[88], Abû Dâwûd[89], At-Turmudziy[90], An-Nasâ-iy[91] dan Mâlik[92]). Dan menurut keterangan dari Abû Umâmah t: أَنَّ بِلاَلاً أَخَذَ فِى اْلإِقَامَةَ فَلَمَّا أَنْ قَالَ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَقَامَهَا اللهُ وَأَدَامَهَا وَقَالَ فِى سَائِرِ اْلإِقَامَةِ “Adalah Bilâl menyerukan iqamah. Maka, tatkala sampai pada seruan qad qâmati sh-shalâh, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab: aqâmahâ llâhu wa adâmahâ; dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab seluruh seruan iqamah.” (Dikeluarkan oleh Abû Dâwûd[93]). Menurut Al-Mundziriy, dalam sanad hadîts ini ada orang yang majhul dan Syahr bin Hausyab sendiri diperselisihkan statusnya. Antara adzan dan iqamah adalah waktu mustajab bagi do’a, karena itu panjatkanlah do’a yang berisi permohonan untuk keafiatan di dunia dan akhirat, dan jika tidak ada keperluan yang mendesak, tetaplah di tempat, jangan keluar dari Masjid. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda: اَلدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ اْلأَذَانِ واْلإِقَامَةِ. قَالُوْا فَمَاذَا نَقُوْلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ سَلُوا اللهَ الْعَافِيَةَ فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ “Do’a yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah tidak akan ditolak. Mereka (para shahabat yang mendengar sabda beliau e itu pun) bertanya: Apa yang kami mohonkan, Ya Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam? Jawab Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam: Mohonlah kepada Allâh keafiaatan di dunia dan akhirat.” (Bagian pertamanya dikeluarkan oleh Ahmad[94], Abû Dâwûd[95], At-Turmudziy[96] dan An-Nasâ-iy[97]; sedangkan tambahan pertanyaan: fa mâ dzâ naqûlu dan jawabannya dikeluarkan oleh At-Turmudziy[98]). Menurut At-Turmudziy, hadîts ini hasan, dan tambahan tersebut dari yang disampaikan oleh Yahyâ bin Al-Yamâni. مَنْ أَدْرَكَهُ اْلأَذَانُ فِى الْمَسْجِدِ ثُمَّ خَرَجَ لَمْ يَخْرُجْ لِحَاجَةٍ وَهُوَ لاَ يُرِيدُ الرّجْعَةَ فَهُوَ مُنَافِقٌ “Barangsiapa yang telah berada di Masjid mendengar adzan, lalu ia keluar bukan karena suatu keperluan mendesak, dan tidak bermaksud kembali lagi, maka ia seorang Munâfiq.” (Dikeluarkan oleh Abû Dâwûd[99]). Dalam buku Mishbâhu z-Zujâjaĥ fî Zawâ-idin Ibni Mâjjaĥ disebutkan bahwa Ibnu Abî Farwaĥ dan ‘Abdu l-Jabbâr bin ‘Umar yang terdapat dalam sanad hadîts ini, dhaîf. Namun demikian, Ath-Thabrâniy dalam Al-Wasith meriwayatkan hadîts yang semakna dengan ini melalui perawi-perawi yang shahîh lihat Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy: Koleksi Hadits-Hadits Hukum 2 (Semarang: PT Pustaka Rizki Putera, 2001) “Masalah 196: Keluar Mesjid Sesudah Azan Dikumandangkan”, h.203. # Sesudah menunaikan shalat shubh berjama’ah, hingga matahari terbit isi dengan berdo’a, berdzikir, bertasbih, membaca Al-Qur-ân, atau bertafakkur. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda: لأَنْ أقْعُدَ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللهَ تَعَالَى مِنْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَنْ أُعْتِقَ أَرْبَعَةً مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ “Sungguh dudukku bersama suatu kaum yang berdzikir kepada Allâh sejak dari shalat shubh hingga terbit matahari, lebih aku sukai daripada membebaskan empat puluh budak keturunan Ismâ’îl.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[100] dan Abû Dâwûd[101]). Ini lafaz dari Abû Dâwûd. Al-‘Irâqiy menyatakan hadîts Abû Dâwûd ini isnadnya jayyid. Ahmad meriwayatkannya dengan lafaz: adzkaro llâha wa ukabbiruhu wa uhammiduhu wa usabbihuhu wa uhalliluhu (berdzikir kepada Allâh dan bertakbir, bertahmid, bertasbih serta bertahlil kepada-Nya), tanpa menyebut lafaz: min shalâti l-ghadât. Kemudian, hingga matahari naik setengah tombak, sehingga jelas benderang cahayanya (kira-kira 3 jam setelah terbitnya), isilah waktu dengan 4 hal: (1) Meneruskan berdo’a, berdzikir, bertasbih, membaca Al-Qur-ân, atau bertafakkur, (2) menuntut Ilmu, (3) melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan sesama dan membahagiakan orang-orang beriman serta turut aktif dalam berbagai usaha meninggikan Kalimatillâh di tengah masyarakat, dan (4) mencukupi kebutuhan diri dan keluarga. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda: مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ سَيُكَلِّمُهُ اللهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانٌ وَلاَ حِجَابً يَحْجُبُهُ فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلاَ يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ أَشْأَمَ مِنْهُ فَلاَ يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلاَ يَرَى إِلاَّ النَّارَ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ وَلَوْ بِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ “Tiada seorang pun dari kalian kecuali kelak Allâh akan berbicara kepadanya tanpa penerjemah dan tanpa hijab yang menutupinya. Lalu ia berpaling ke sisi kanannya, maka tidak ada yang ia lihat selain amal perbuatannya yang telah lalu. Begitu pula ketika ia berpaling ke sisi kirinya, tidak ada yang ia lihat selain amal perbuatannya yang telah lalu. Dan ketika ia berpaling ke muka, maka tidak ada yang ia lihat selain Neraka yang tepat berada di hadapan wajahnya. Karena itu, hindarilah Neraka itu oleh kalian walaupun dengan sebiji kurma dan kalimat thayyibah.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[102], Muslim[103], Ahmad[104], Ibnu Mâjjah[105] dan At-Turmudziy[106]). Ini gabungan lafaz dari Muslim dan Al-Bukhâriy. Ahmad, Ibnu Mâjjaĥ dan At-Turmudziy meriwayatkannya dengan lafaz: mani s-tathâ’a min kum an yaqiya wajhahu hurri n-nâra walaw bi syiqqin tamratin wa bi kalimatin thayyibatin fa l yaf’al (barangsiapa sanggup di antara kalian untuk melindungi wajahnya dari panas api Neraka, walau hanya dengan sebiji korma dan dengan kalimah thayyibah, maka lakukanlah). At-Turmudziy menilai hadîts mengenai ini yang diriwayatkannya, hasan shahîh. # -------------------------------------------------------------------------------- [1] Shahîhu l-Bukhâriy: Kitâbu t-Tahajjud, Bâb ‘Aqidi sy-Syaithân ‘alâ Qâfiyati r-Ra`si idzâ lam Yushalli bi l-Laili; Al-Bukhâriy menerimanya melalui jalur ‘Abdullâh bin Yûsuf dari Mâlik dari Abû z-Zinâd dari Al-A’raj dari Abû Hurairah t. Dalam Kitâb Bada-i l-Khalqi, Bâb Shifati Iblîs wa Junûdihi; Al-Bukhâriy menerimanya melalui jalur Ismâ‘îl bin Abî Uwais dari saudaranya dari Sulaimân bin Bilâl dari Yahyâ bin Sa’îd dari Sa’îd bin Al-Musayyab dari Abû Hurairah t. [2] Shahîh Muslim: Kitâbu sh-Shalâti l-Musâfirîn wa Qashrihâ, Bâbu l-Hitstsi ‘alâ Shalâti l-Waqti wa in Qillat; Muslim menerimanya melalui jalur ‘Amrû An-Nâqid dan Zuhair bin Harb dari Sufyân bin ‘Uyainah dari Abû z-Zinâd dari Al-A’raj dari Abû Hurairah t. [3] Musnad Ahmad: Musnad Abû Hurairah t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Sufyân bin ‘Uyainah dari Abû z-Zinâd dari Al-A’raj dari Abû Hurairah t. [4] Sunan Ibnu Mâjjah: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Mâ Jâ-a fî Qiyâmu l-Lail; Ibnu Mâjjah menerimanya melalui jalur Abû Bakr bin Abî Syaibah dari Abû Mu’âwiyyah dari Al-A’masy dari Abû Shâlih dari Abû Hurairah t. [5] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Qiyâmi l-Lail; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur ‘Abdullâh bin Yûsuf dari Mâlik dari Abû z-Zinâd dari Al-A’raj dari Abû Hurairah t. [6] Al-Muwatha`: Kitâbu sh-Shalât, Jâmi’u t-Targhîb fî sh-Shalât; Mâlik menerimanya melalui jalur Mâlik dari Abû z-Zinâd dari Al-A’raj dari Abû Hurairah t. [7] Shahîh Muslim: Kitâbu th-Thahârah, Bâb Karâhatin Ghamasa l-Mu-tawadhdhi-i wa Ghairihi Yadahi l-Masykûki fî Najâsatihâ fî l-Inâ-i Qabla Ghasalahâ Tsalâtsân; Muslim menerimanya melalui jalur Nashr bin ‘Aliy Al-Jahdhamiy dan Hâmid bin ‘Umar Al-Bakrâwiy dari Bisyr bin Al-Mufadhdhal dari Khâlid dari ‘Abdullâh bin Syaqîq (juga melalui jalur Salamah bin Syabîb dari Al-Hasan bin A’yan dari Ma’qil dari Abû z-Zubair dari Jâbir) dari Abû Hurairah t. [8] Musnad Ahmad: Musnad Abû Hurairah t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Sufyân dari Az-Zuhriy (juga melalui jalur Muhammad bin Ja’far dari Muhammad bin ‘Amrû) dari Abû Salamah (juga melalui jalur ‘Abdu r-Razzâq dari Ma’mar dari Hammâm bin Munabbih, dan dari Az-Zuhriy dari Ibnu l-Musayyab; dan jalur Hawdzah dari ‘Awf dari Muhammad; serta jalur Mûsâ bin Dâwud dari Ibnu Luhai’ah dari Abû z-Zubair dari Jâbir; dan jalur Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Khâlid dari ‘Abdullâh bin Syaqîq; dan jalur Mâlik dari Abû z-Zinâd dari Is-hâq dan Al-A’raj; juga jalur Wakî’ dari Al-A’masy dari Abû Shâlih dan Abû Razîn; dan jalur Yazîd dari Ibnu Is-hâq dari Mûsâ bin Yassâr; serta jalur Yazîd dari Hisyâm dari Muhammad) dari Abû Hurairah t. [9] Sunan Ibnu Mâjjah: Kitâbu th-Thahârah wa Sunnanihâ, Bâbu r-Rajuli Yastaiqazhi min Manâmi hi Hal Yadkhulu Yadahu fî l-Inâ-i Qabla an Yaghsilahâ; Ibnu Mâjjah menerimanya melalui jalur ‘Abdu r-Rahmân bin Ibrâhîm Ad-Dimasyqiy dari Al-Walîd bin Muslim dari Al-Awzâ‘iy dari Az-Zuhriy dari Sa’îd bin Al-Musayyab dan Abû Salamah bin ‘Abdi r-Rahmân dari Abû Hurairah t; juga melalui jalur Harmalah bin Yahyâ dari ‘Abdullâh bin Wahb dari Ibnu Luhai‘ah dan Jâbir bin Ismâ‘îl dari ‘Uqail dari Ibnu Syihâb dari Sâlim dari Bapaknya. [10] Sunan Ad-Darâmiy: Kitâbu sh-Shalât wa th-Thahârah, Bâb Idzâ Istaiqazha Ahadukum min Manâmihi; Ad-Darâmiy menerimanya melalui jalur Abû Nu’aim dari Ibnu ‘Uyainah dari Az-Zuhriy dari Abû Salamah dari Abû Hurairah t. [11] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu th-Thahârah, Bâb fî r-Rajuli Yadkhulu Yadahu fî l-Inâ-i Qabla an Yaghsilahâ; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Ahmad bin ‘Amrû bin As-Sarh dan Muhammad bin Salamah Al-Murâdiy dari Ibnu Wahb dari Mu’âwiyyah bin Shâlih dari Abû Maryam dari Abû Hurairah t. [12] Jâmi’u t-Turmudziy: Abwâbu th-Thahârah, Bâb Mâ Jâ-a Idzâ Istaiqazha Ahadukum min Manâmihi fa Lâ Yaghmis Yadahu fî l-Inâ-i Hattâ Yaghsilahâ; At-Turmudziy menerimanya melalui jalur Abû l-Walîd Ahmad bin Bakkâr Ad-Dimasyqiy dari Al-Walîd bin Muslim dari Al-Awzâ‘iy dari Az-Zuhriy dari Sa’îd bin Al-Musayyab dan Abû Salamah dari Abû Hurairah t. [13] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâb Wudhû-i n-Nâ-imi Idzâ Qâma ilâ sh-shalât dan Sunan An-Nasâ-iyyu sh-Shughrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâb Ta’wîl Qawluhu ‘Azza wa Jalla Idzâ Qumtum ilâ sh-shalât; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Qutaibah bin Sa’îd dari Sufyân (juga, dalam Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâbu l-Amri bi l-Wudhû-i li n-Nâ-imi l-Mudhtaji’ dan Sunan An-Nasâ-iyyu sh-Shughrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâbu l-Wudhû-i mina n-Nawmi, melalui jalur Ismâ’îl bin Mas’ûd dari Yazîd dari Ma’mar) dari Az-Zuhriy dari Abû Salamah dari Abû Hurairah t. [14] Al-Muwatha`: Kitâbu sh-Shalât, Wudhû-i n-Nâ-imi Idzâ Qâma ilâ sh-Shalât; Mâlik menerimanya melalui jalur Yahyâ dari Mâlik dari Abû z-Zinâd dari Al-A’raj dari Abû Hurairah t. [15] Shahîhu l-Bukhâriy: Kitâb Bada-i l-Khalqi, Bâb Shifati Iblîs wa Junûdihi; Al-Bukhâriy menerimanya melalui jalur Ibrâhîm bin Hamzah dari Ibnu Abî Hâzim dari Yazîd bin ‘Abdillâh dari Muhammad bin Ibrâhîm dari ‘Îsâ bin Thalhah dari Abû Hurairah t. [16] Shahîh Muslim: Kitâbu th-Thahârah, Bâbu l-Ibtâr fî l-Istintsâr wa l-Istijmâr; Muslim menerimanya melalui jalur Bisyr bin Al-Hakam Al-‘Abdiy dari ‘Abdu l-‘Azîz Ad-Darâwardiy dari Ibnu l-Hâdi dari Muhammad bin Ibrâhîm dari ‘Îsâ bin Thalhah dari Abû Hurairah t. [17] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâb bi Kum Yastantsir; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Muhammad bin Zunbûr Al-Makkiy dari Ibnu Abî Hâzim dari Yazîd bin ‘Abdillâh dari Muhammad bin Ibrâhîm dari ‘Îsâ bin Thalhah dari Abû Hurairah t. [18] Musnad Ahmad: Musnad Abû Hurairah t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Abû ‘Ubaidah Al-Haddâd dari Muhammad bin ‘Amrû dari Abû Salamah (juga melalui jalur Mâlik dari Ibnu Syihâb dari Humaid bin ‘Abdi r-Rahmân) dari Abû Hurairah t. [19] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ: Kitâbu sh-Shiyâmi l-Awwal, As-Siwâk li sh-Shâ-imi bi l-Ghadâ ti wa DzakaRa Ikhtilâf; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Suwaid bin Nashr dari ‘Abdullâh dari ‘Ubaidillâh bin ‘Amr (juga melalui jalur Ibrâhîm bin Ya’qûb dari Abû Nu’mân dari Hammâd bin Zaid dari ‘Abdu r-Rahmân As-Sirâj) dari Sa’îd bin Abî Sa’îd Al-Maqbariy (juga melalui jalur Muhammad bin Yahyâ dari Bisyr bin ‘Amr dari Mâlik dari Ibnu Syihâb dari Humaid bin ‘Abdi r-Rahmân) dari Abû Hurairah t. [20] Al-Muwatha`: Kitâbu sh-Shalât, Mâ Jâ-a fî s-Siwâk; Mâlik menerimanya melalui jalur Mâlik dari Ibnu Syihâb dari Humaid bin ‘Abdi r-Rahmân dari Abû Hurairah t. [21] Shahîhu l-Bukhâriy: Kitâbu l-Wudhû’; Al-Bukhâriy menerimanya melalui jalur Muhammad bin Al-Mutsannâ dari Muhammad bin Khâzim (juga, dalam Kitâbu l-Janâ-iz, Bâbu l-Jarîdati ‘alâ l-Qabri, melalui jalur Yahyâ dari Abû Mu’âwiyyah; dan dalam Bâb ‘Adzâbi l-Qabri mina l-Ghîbati wa l-Bawli, melalui jalur Qutaibah dari Jarîr) dari Al-A’masy dari Mujâhid dari Thâwus dari Ibnu ‘Abbâs y. [22] Shahîh Muslim: Kitâbu th-Thahârah, Bâbu d-Dalîl ‘alâ Najâsati l-Bawli wa Wujûbi l-Istibrâ-i minhu; Muslim menerimanya melalui jalur Abû Sa’îd Al-Asyajj, Abû Kuraib Muhammad bin Al-‘Alâْ dan Is-haq bin Ibrâhîm dari Wakî’ (juga melalui jalur Ahmad bin Yûsuf Al-Azadiy dari Mu’allâ bin Asad dari ‘Abdu l-Wâhid) dari Al-A’masy dari Mujâhid dari Thâwus dari Ibnu ‘Abbâs y. [23] Musnad Ahmad: Musnad ‘Abdullâh bin ‘Abbâs y; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Abû Mu’âwiyyah dan Wakî’ dari Al-A’masy dari Thâwus dari Ibnu ‘Abbâs y; juga, dalam Hadîts Abû Umâmah t, melalui jalur Mujâhid Abû l-Mughîrah dari Ma’ân bin Rifâ’ah dari ‘Aliy bin Yazîd dari Al-Qâsim Abû ‘Abdu r-Rahmân dari Abû Umâmah t. [24] Sunan Ibnu Mâjjah: Kitâbu th-Thahârah wa Sunnanihâ, Bâbu t-Tasydîdi fî l-Bawli; Ibnu Mâjjah menerimanya melalui jalur Abû Bakr bin Abî Syaibah dari Abû Mu’âwiyyah dan Wakî’ dari Al-A’masy dari Thâwus dari Ibnu ‘Abbâs y. [25] Sunan Ad-Darâmiy: Kitâbu sh-Shalât wa th-Thahârah, Bâbu l-IttIqâ-i mina l-Bawli; Ad-Darâmiy menerimanya melalui jalur Al-Mu’allâ bin Asad dari ‘Abdu l-Wâhid bin Ziyâd dari Al-A’masy dari Mujâhid dari Thâwus dari Ibnu ‘Abbâs y. [26] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu th-Thahârah, Bâbu l-Istibrâ-i mina l-Bawli; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Zuhair bin Harb dan Hannâd bin As-Sariy dari Wakî’ dari Al-A’masy dari Mujâhid dari Thâwus (juga melalui jalur ‘Utsmân bin Abî Syaibah dari Jarîr dari Manshûr dari Mujâhid) dari Ibnu ‘Abbâs y. [27] Jâmi’u t-Turmudziy: Abwâbu th-Thahârah, Bâb Mâ Jâ-a t-Tasydîdi fî l-Bawli; At-Turmudziy menerimanya melalui jalur Hannâd, Qutaibah dan Abû Kuraib dari Wakî’ dari Al-A’masy dari Mujâhid dari Thâwus dari Ibnu ‘Abbâs y. [28] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ dan Sunan An-Nasâ-iyyu sh-Shughrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâbu t-Tanzihi ‘ani l-Bawli; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Hannâd bin As-Sariy dari Wakî’ (juga, dalam Kitâbu th-Thahârah, Bâb Wadh’i l-Jarîdah ‘alâ l-Qabri, melalui jalur Hannâd bin As-Sariy dari Abû Mu’âwiyyah) dari Al-A’masy dari Mujâhid dari Thâwus dari Ibnu ‘Abbâs y. [29] Musnad Ahmad: Hadîts As-Sayyidatu ‘Âîsyah t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Aswad bin ‘Âmir, Wakî’ dan Hisyâm dari Syarîk (juga melalui jalur Yahyâ bin Âdam dari Hasan) dari Abû Is-hâq dari Al-Aswad dari ‘Âîsyah t. [30] Sunan Ibnu Mâjjah: Abwâbu t-Tayammum, Bâb fî l-Wudhû-i Ba’da l-Ghusl; Ibnu Mâjjah menerimanya melalui jalur Abû Bakr bin Abî Syaibah, ‘Abdullâh bin ‘Âmir bin Zurârah dan Ismâ’îl bin Mûsâ As-Saddiy dari Syarîk dari Abû Is-hâq dari Al-Aswad dari ‘Âîsyah t. [31] Jâmi’u t-Turmudziy: Abwâbu th-Thahârah, Bâb Mâ Jâ-a fî l-Wudhû-i Ba’da l-Ghusl; At-Turmudziy menerimanya melalui jalur Ismâ’îl bin Mûsâ dari Syarîk dari Abû Is-hâq dari Al-Aswad dari ‘Âîsyah t. [32] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ dan Sunan An-Nasâ-iyyu sh-Shughrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâb Tarki l-Wudhû-i Ba’da l-Ghusl; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Ahmad bin ‘Utsmân bin Hakîm dari Bapaknya dari Al-Hasan (juga melalui jalur ‘Amrû bin ‘Aliy dari ‘Abdu r-Rahmân dari Syarîk) dari Abû Is-hâq dari Al-Aswad dari ‘Âîsyah t. [33] Hadîts riwayat Ibnu Khuzaimah dan Al-Hâkim ini terdapat dalam Kitâb “Subulu s-Salâm Syarh Bulûghi l-Marâm min Jami’ Adillati l-Ahkâm” karya Ash-Shan’âniy, tanpa menyebutkan sanadnya, dari Ibnu ‘Abbâs y. [34] Shahîh Muslim: Kitâbu th-Thahârah, Bâbu dz-Dzikri l-Mustahabbi ‘Iqabi l-Wudhû-i; Muslim menerimanya melalui jalur Muhammad bin Hâtim bin Maymûn dari ‘Abdu r-Rahmân bin Mahdiy dari Mu’âwiyyah bin Shâlih dari Rubai’ah bin Yazîd dari Abû Idrîs Al-Khawlâniy, dan dari Abû ‘Utsmân dari Jubair bin Nufair, dari ‘Uqbah bin ‘Âmir t. [35] Musnad Ahmad: Hadîts ‘Uqbah bin ‘Âmir t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur ‘Abdu r-Rahmân dari Mu’âwiyyah dari Rubai’ah dari Abû Idrîs Al-Khawlâniy, dan dari Abû ‘Utsmân dari Jubair bin Nufair dari ‘Uqbah bin ‘Âmir t. [36] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu th-Thahârah, Bâb Mâ Yaqûlu r-Rajuli Idzâ Tawadha-a; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Ahmad bin Sa’îd Al-Mahdâniy dari Ibnu Wahb dari Mu’â wiyyah bin Shâlih dari Abû ‘Utsmân (juga, dalam Bâb Karâhiyati l-Waswasah wa Hadîtsi n-Nafsi fî sh-Shalât, melalui jalur ‘Utsmân bin Abî Syaibah dari Zaid bin Al-Hubâb dari Mu’âwiyyah bin Shâlih dari Rubai’ah bin Yazîd dari Abû Idrîs Al-Khawlâniy) dari Jubair bin Nufair dari ‘Uqbah bin ‘Âmir t. [37] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ dan Sunan An-Nasâ-iyyu sh-Shughrâ: Kitâbu th-Thahârah, Bâb Tsawâbu Man Ahsana l-Wudhû-a Tsumma Shallâ Rak’ataini; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Mûsâ bin ‘Abdi r-Rahmân dari Zaid bin Hubâb dari Mu’âwiyyah bin Shâlih dari Rubai’ah bin Yazîd Ad-Dimasyqiy dari Abû Idrîs Al-Khawlâniy, dan dari Abû ‘Utsmân dari Jubair bin Nufair, dari ‘Uqbah bin ‘Âmir t. [38] Shahîhu l-Bukhâriy: Kitâbu t-Tahajjud, Bâb Ta’âhudi Raka’atayi l-Fajr wa Man Sammâhumâ Tathawwu’ân; Al-Bukhâriy menerimanya melalui jalur Bayân bin ‘Amrû dari Yahyâ bin Sa’îd dari Ibnu Juraij dari ‘Athâ` dari ‘Ubaidillâh bin ‘Umair dari ‘Âîsyah t. [39] Shahîh Muslim: Kitâbu sh-Shalâti l-Musâfirína wa Qashrahâ, Bâb Istihbâbi Raka’atayi Sunnati l-Fajr wa l-Hitstsi ‘Alaihimâ; Muslim menerimanya melalui jalur Zuhair bin Harb dari Yahyâ bin Sa’îd dari Ibnu Juraij dari ‘Athâ` dari ‘Ubaidillâh bin ‘Umair dari ‘Âîsyah t. [40] Musnad Ahmad: Hadîts As-Sayyidatu ‘Âîsyah t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Yahyâ bin Sa’îd, ‘Abdu r-Razzâq dan Ibnu Bakr dari (juga langsung melalui) Ibnu Juraij dari ‘Athâ` dari ‘Ubaidillâh bin ‘Umair dari ‘Âîsyah t. [41] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Raka’atayi l-Fajr; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Musaddad dan Yahyâ bin Sa’îd dari Ibnu Juraij dari ‘Athâ` dari ‘Ubaidillâh bin ‘Umair dari ‘Âîsyah t. [42] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ: Kitâbu s-Shalât, Bâbu l-Mu’âhadati ‘alâ r-Raka’ataini Qabla Shalâti l-Fajr; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Ya’qûb bin Ibrâhîm dari Yahyâ bin Sa’îd dari Ibnu Juraij dari ‘Athâ` dari ‘Ubaidillâh bin ‘Umair dari ‘Âîsyah t. [43] Musnad Ahmad: Hadîts Qais bin ‘Amrû t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur ‘Abdu r-Razâq dari Ibnu Juraij dari ‘Abdullâh bin Sa’îd dari Kakeknya. [44] Musnad Ahmad: Hadîts ‘Imrân bin Hushain t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Yazîd dari Hisyâm dan Rawah dari Al-Hasan dari ‘Imrân bin Hushain t. [45] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu sh-Shalât, Bâb fî Man Nâmi ‘an Shalâtin aw Nasîhâ; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Wahb bin Baqiyyah dari Khâlid dari Yûnus bin ‘Ubaid dari Al-Hasan dari ‘Imrân bin Hushain t. [46] Sunan An-Nasâ-iyyu l-Kubrâ dan Sunan An-Nasâ-iyyu sh-Shughrâ: Kitâbu l-Mawâqît, Bâb Kaifa Yaqdhiya l-Fâ-itu mina sh-Shalâti; An-Nasâ-iy menerimanya melalui jalur Hannâd bin As-Sirriy dari Abû l-Ahwash dari ‘Athâ` bin As-Sâ-ib dari Buraida bin Abî Maryam dari Bapaknya. [47] Musnad Ahmad: Musnad ‘Umar bin Al-Khaththâb t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Hâsyim bin ‘Amrû Al-Bajaliy dari ‘Umar bin Al-Khaththâb t. [48] Shahîh Muslim: Kitâbu sh-Shalâti l-Musâfirína wa Qashrahâ, Bâb Shalâti l-Lail wa ‘Iddadu Raka’âti n-Nabiyy; Muslim menerimanya melalui jalur Abû Bakr bin Abî Syaibah, Nashr bin ‘Aliy dan Ibnu Abî ‘Umar dari Sufyân bin ‘Uyainah dari Abû An-Nadhr dari Abû Salamah dari ‘Âîsyah t. [49] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu sh-Shalât, Bâbu Idhtijâ’i Ba’dihâ; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Musaddad dari Sufyân dari Zayâd bin Sa’d dari Ibnu Abî ‘Attâb dari Abû Salamah dari ‘Âîsyah t. [50] Shahîhu l-Bukhâriy: Kitâbu l-Adzân, Bâb Qawli r-Rajuli fa Atatnâ sh-Shalât dan Kitâbu l-Jamâ’ah, Bâbu l-Masy-yi ilâ l-Jamâ’ah; Al-Bukhâriy menerimanya melalui jalur Âdam dari Ibnu Abî Dzi’b dari Az-Zuhriy dari Sa’îd bin Al-Musayyab dan Abû Salamah dari Abû Hurairah t. Dalam Kitâbu l-Jamâ’ah, Bâbu l-Masy-yi ilâ l-Jamâ’ah; Al-Bukhâriy juga menerimanya tanpa melalui Âdam, tetapi langsung dari Ibnu Abî Dzi’b. [51] Shahîh Muslim: Kitâbu l-Masâjid wa Mawâdhi’i sh-Shalât, Bâb Istihbâbi Ityâni sh-Shalât bi WIqârin wa Sakînatin wa n-Nahyi ‘an Ityânahâ Sa’iyyân; Muslim menerimanya melalui jalur Abû Bakr bin Abî Syaibah, ‘Amrû An-Nâqid dan Zuhair bin Harb dari Sufyân bin ‘Uyainah (juga melalui jalur Muhammad bin Ja’far bin Ziyâd dari Ibrâhîm bin Sa’d) dari Az-Zuhriy dari Sa’îd bin Al-Musayyab dan Abû Salamah (juga melalui jalur Yahyâ bin Ayyûb, Qutaibah bin Sa’îd dan Ibnu Hujr dari Ismâ’îl bin Ja’far dari Al-‘Alâ` dari Bapaknya; dan jalur Muhammad bin Râfi’ dari ‘Abdu r-Razzâq dari Ma’mar dari Hammâm bin Munabbih) dari Abû Hurairah t. [52] Musnad Ahmad: Musnad Abû Hurairah t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur ‘Abdu r-Razzâq dari Ma’mar dari Hammâm bin Munabbih (juga dari Az-Zuhriy dari Sa’îd bin Al-Musayyab; juga melalui jalur Hajjâj dari Laits dari ‘Uqail dari Ibnu Syihâb dari Abû Salamah; dan jalur ‘Abdu r-Rahmân, Is-hâq dan ‘Utsmân bin ‘Umar dari Mâlik dari Al-A’lâ` bin ‘Abdi r-Rahmân bin Ya’qûb dari Bapaknya dan Is-hâq bin ‘Abdillâh; juga jalur Wakî’ dan ‘Abdu r-Rahmân dari Sufyân Al-Ma’aniy dari Sa’d bin Ibrâhîm dari ‘Amrû bin Salamah) dari Abû Hurairah t; juga melalui jalur Muhammad bin Ja’far dari ‘Awf dari Al-Hasan. [53] Sunan Ibnu Mâjjah: Kitâbu l-Masâjid wa l-Jamâ’ah, Bâbu l-Masy-yi ilâ sh-Shalât; Ibnu Mâjjah menerimanya melalui jalur Muhammad bin ‘Utsmân dari Ibrâhîm bin Sa’d dari Sa’îd bin Al-Musayyab dan Abû Salamah dari Abû Hurairah t. [54] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu sh-Shalât, Bâbu l-Sa’iyyi ilâ sh-Shalât; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Ahmad bin Shâlih dari ‘Anbasah dari Yûnus dari Ibnu Syihâb dari Sa’îd bin Al-Musayyab dan Abû Salamah dari Abû Hurairah t. [55] Jâmi’u t-Turmudziy: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Mâ Jâ-a fî l-Masy-yi ilâ l-Masjid; At-Turmudziy menerimanya melalui jalur Muhammad bin ‘Abdi l-Malik bin Abî sy-Syawârib dari Yazîd bin ZuRay’i dari Ma’mar dari Az-Zuhriy dari Abû Salamah dari Abû Hurairah t. [56] Al-Muwatha`: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Mâ Jâ-a fî n-Nidâ-i sh-Shalât; Mâlik menerimanya melalui jalur Mâlik dari Al-A’lâْ bin ‘Abdi r-Rahmân bin Ya’qûb dari Bapaknya dan Is-hâq bin ‘Abdillâh dari Abû Hurairah t. [57] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Mâ Jâ-a fî l-Hadyi fî l-Masy-yi ilâ sh-Shalât; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur Muhammad bin Sulaimân Al-Anbâriy dari ‘Abdu l-Malik bin ‘Amrû dari Dâwud bin Qais dari Sa’d bin Ish-hâq dari Abû Tsumâmah Al-Hannâth dari Ka’b bin ‘Ujrah t. [58] Jâmi’u t-Turmudziy: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Mâ Jâ-a fî Karâhayati t-Tasybîki Bayna l-Ashâbi’i fî sh-Shalât; At-Turmudziy menerimanya melalui jalur Qutaibah dari Al-Laits bin Sa’d dari Ibnu ‘Ajlân dari Sa’îd Al-Maqburiy dari Seorang Rijal dari Ka’b bin ‘Ujrah t. [59] Musnad Ahmad: Musnad ‘Abdullâh bin ‘Umar y; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Muhammad bin Yazîd dari Al’Awwâm bin Hawsyab dari Habîb bin Abî Tsâbit dari ‘Abdullâh bin ‘Umar y. [60] Sunan Abû Dâwûd: Kitâbu sh-Shalât, Bâb Mâ Jâ-a fî lKhurûjin n-Nisâ-a ilâ l-Masjid; Abû Dâwûd menerimanya melalui jalur ‘Utsmân bin Abî Syaibah dari Yazîd bin Hârûn dari Al’Awwâm bin Hawsyab dari Habîb bin Abî Tsâbit dari ‘Abdullâh bin ‘Umar y. [61] Musnad Ahmad: Musnad Abû Hurairah t; ‘Abdullâh bin Ahmad menerimanya dari ayahnya, Ahmad bin Hanbal, yang menerimanya melalui jalur Yahyâ dan Muhammad bin ‘Ubaid dari M

Silaturahmi


Silaturrahmi merupakan salah satu ajaran dalam Islam akan tetapi masih banyak yang belum memahami hakikat dan faidah-faidah silaturahmi. Artikel ini mengupas pengertian, faidah dan tips dalam mempererat silaturahmi
Shilah artinya Hubungan atau menghubungkan sedangkan ar-Rahm berasal dari Rahima-Yarhamu-Rahmun/ Rahmatan yang berarti lembut dan kasih sayang. Taraahamal-Qaumu artinya kaum itu saling berkasih sayang. Taraahama 'Alayhi berarti mendo'akan seseorang agar mendapat rahmat. Sehingga dengan pengertian ini seseorang dikatakan telah menjalin silaturrahmi apabila ia telah menjalin hubungan kasih sayang dalam kebaikan bukan dalam dosa dan kema'siatan. Selain itu kata ar-Rahm atau ar-Rahim juga mempunyai arti peranakan (rahim) atau kekerabatan yang masih ada pertalian darah (persaudaraan). Inilah keunikan Bahasa Arab, Satu kata saja sudah dapat menjelaskan definisinya sendiri tanpa bantuan kata-kata lain. Dengan demikian Shilaturrahmi atau Shilaturrahim secara bahasa adalah menjalin hubungan kasih sayang dengan saudara dan kerabat yang masih ada hubungan darah (senasab). Seseorang tidak dapat dikatakan menjalin hubungan silaturrahmi bila ia berkasih sayang dengan orang lain sementara saudara dan kerabatnya dia jadikan musuh. Islam dalam hal ini mengajarkan kepada kita tentang skala prioritas, yaitu dahulukanlah keluarga dan kaum kerabatmu baru kemudian orang lain. Hubungan baik dengan orang lain jangan sampai merusak hubungan kekeluargaan. Hubungan kasih sayang dengan istri jangan sampai merusak hubungan kita dengan orang tua dan saudara. Peliharalah Tali Silaturrahmi, maksudnya peliharalah hubungan kekeluargaan kamu. Jangan sampai kamu lupa dengan nasab kamu, orang tua kamu, saudara-saudara kamu dan kerabat-kerabat kamu. Setelah itu baru peliharalah hubungan kasih sayang dengan orang-orang mu`min sebagaimana dengan saudara sendiri. Anjuran menjalin Silaturrahmi adalah anjuran untuk tidak melupakan nasab dan hubungan kekerabatan. Satu-satunya bangsa yang paling hebat dalam menjalankan silaturrahmi adalah bangsa Arab. Mengapa? Karena mereka tidak lupa nenek moyang mereka. Makanya mereka selalu mengaitkan nama mereka dengan bapak, dan kakek-kakek mereka ke atas. Oleh karena itu dalam nama mereka pasti ada istilah bin atau Ibnu yang artinya anak. Nabi kita Muhammad Saw mengetahui nasabnya sampai beberapa generasi sebelumnya. Nasab beliau adalah Muhammad bin 'Abdullah bin 'Abdul-Muthalib bin Hasyim bin Abdul- Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan. Bukan hanya Nabi yang seperti itu, hampir seluruh orang-orang Arab mengetahui nasabnya masing-masing sampai beberapa generasi sebelumnya. Hubungan kekeluargaan dan persaudaraan diantara mereka sangat kuat. Allah menjadikan mereka sebagai contoh untuk diteladani. Lalu bagaimana dengan bangsa-bangsa lain dan bangsa kita yang kebanyakan mengetahui hanya sampai kakek dan buyut. Akibat pengetahuan nasab yang terbatas ini maka efeknya sangat memprihatinkan. Diantaranya tidak mengetahui saudaranya yang jauh, menganggap bahwa dirinya tidak punya saudara, tidak mendapat bantuan dan pertolongan bila dirinya mengalami kesengsaraan, tidak punya tempat untuk mengadu dan meminta pertolongan kecuali orang lain. Akhirnya ujung-ujungnya timbullah kemiskinan, anak gelandangan, dan lain sebagainya. Padahal seandainya mereka mengetahui nasab mereka siapa tahu bahwa direktur perusahaan disamping gubuknya adalah saudaranya dari buyut kakeknya. Inilah salah satu hikmah perintah bersilaturrahmi. Bersilaturrahmi atau menjalin hubungan kasih sayang yang kuat diantara saudara dan keluarga pihak kakek dan nenek ke atas. Kalau bisa kita menghafalnya sebagaimana bangsa Arab menghafal nasab-nasab mereka baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu. Allah dalam al-Qur`an secara spesifik memerintahkan umat Islam untuk menjalin silaturrahmi/ silaturrahim; يَاأيّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَ بَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَ نِسَآءً وَاتَّقُوْا اللهَ الًّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَ الأرْحَامَ إنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْـبًا (النساء : 1) Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (an-Nisa`:1) Dari Miqdam ra bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
إنَّ اللهَ يُوْصِيْكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ إنَّ اللهَ يُوْصِيْكُمْ بِأبآئِكُمْ إنَّ اللهَ يُوْصِيْكُمْ بِالْأَقْرَبِ فَالْأقْرَبِ
Sesungguhnya Allah berwasiat agar kalian berbuat baik kepada ibu-ibumu, sesungguhnya Allah berwasiat agar berbuat baik kepada bapak-bapakmu dan sesungguhnya Allah berwasiat kepada kamu agar berbuat baik kepada sanak kerabatmu (Silsilah Hadits Shahih; al-Albani) Menyambung hubungan kekerabatan adalah wajib dan memutuskannya merupakan dosa besar. Dari Jubair bin Muth'im bahwa Nabi Saw bersabda: لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحْمٍ (متفق عليه) Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan persaudaraan (Muttafaq 'Alaih) Silaturrahmi tidak hanya bagi saudara sedarah (senasab) tapi juga saudara seiman. Allah Swt memerintahkan agar kita menyambung hubungan baik dengan orang tua, saudara, kaum kerabat, dan orang-orang mu`min yang lain. Namun dalam hubungan silaturrahmi yang diutamakan adalah sanak famili yang masih ada hubungan darah (senasab) baru kemudian orang-orang beriman yang tidak ada hubungan darah dengan kita. Karena mereka-lah yang lebih dekat hubungannya dengan kita. Begitu juga apabila kita meminta bantuan maka yang lebih layak kita minta adalah sanak famili kita, baru kemudian orang lain. Karena mereka dan kita sama-sama punya hak dan kewajiban untuk saling tolong-menolong. Di dalam Islam anjuran berinfak ditujukan kepada kaum kerabat kita yang miskin dulu baru kepada orang lain. Allah berfirman :
... وَ أُوْلُوْا الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِيْ كِتَابِ اللهِ مِنَ المُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُهَاجِرِيْنَ إلاَّ أنْ تَفْعَلُوْآ إلَى أوْلِيَآئِكُمْ مَّعْرُوْفًا ... (الأحزاب : 6) ... Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) menurut Kitab Allah daripada orang-orang Mukmin (lain) dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada mereka (saudaramu seiman)… (al-Ahzab: 6) Apabila manusia memutuskan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dihubungkan. Maka ikatan sosial masyarakat akan hancur berantakan, kerusakan menyebar di setiap tempat, permusuhan terjadi dimana-mana, sifat egoisme muncul kepermukaan. Sehingga setiap individu masyarakat menjalani hidup tanpa petunjuk, seorang tetangga tidak mengetahui hak tetangganya, seorang faqir merasakan penderitaan dan kelaparan sendirian karena tidak ada yang peduli. Dan jangan sampai kita memutuskan tali silaturrahmi hanya karena gara-gara pekerjaan dan jabatan. Silaturrahmi lebih tinggi nilainya dari itu semua. Allah berfirman :
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إنْ تَوَلَّيْتُمْ أنْ تُفْسِدُوْا فِي الأرْضِ وَتُقَطَِعُوْآ أرْحَامَكُمْ (محمد: 22) Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan (silaturrahim) ? (QS. Muhammad: 22) Kiat-Kiat Mempererat Hubungan Silaturrahmi 1. Mendahulukan Sanak-Famili yang terdekat dalam segala kebaikan, terutama orang tua. Orang tua adalah kerabat terdekat yang mempunyai jasa tidak terhingga dan kasih sayang yang besar sehingga seorang anak wajib mencintai, menghormati dan berbuat baik kepada kedua orang tuanya walaupun keduanya musyrik. Kedua orangtuanya berhak mendapat perlakuan baik di dunia namun bukan mengikuti kesyirikannya. Apabila mereka faqir maka kewajiban kitalah yang membantunya pertama kali. Kemudian saudara-saudara kita seperti paman dan bibi baru setelah itu orang lain yang seiman. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra dari Nabi Saw : أَمَّا شَعُرْتَ أَنَّ عَمَّ الرَّجُلِ صَنُوْ أبِيْهِ Apakah kamu tidak sadar bahwa paman seseorang adalah saudara bapaknya. 2. Mengingat Kebaikan Sanak-Famili kita, tanpanya mungkin kita tidak akan berarti. 3. Menghafal Nasab dan seluruh nama-nama saudara kita, dari mulai kakek dan nenek ke atas sampai kepada keturunan-keturunan mereka. Untuk hal ini sebaiknya kita membuat diagram silsilah keluarga agar dapat diingat oleh generasi berikutnya supaya mereka tetap melanjutkan tali silaturrahmi setelah kita tiada (meninggal). 4. Jangan menyakiti, menzhalimi dan berbuat buruk kepada sanak-famili kita. Sebaiknya kita-lah yang menjadi solusi untuk memecahkan segala permasalahan mereka. Sesungguhnya orang-orang yang selalu menjaga tali silaturrahmi akan diberkahi oleh Allah dalam usahanya, rizki dan umurnya. Dari Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda : مَنْ أحَبَّ أنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَ يُنْسَأ لَهُ فِي أثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَه (متفق عليه) Barangsiapa yang senang diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya (diberkahi), maka hendaklah ia bersilaturrahmi (Muttafaq 'Alaih) [Kontributor : Fakhrurrazi, 16 Desember 2004 ]

Islam Adalah Darah Dagingmu


Islam Adalah Darah Dagingmu
Posted by admin
05/11/2007
4403 clicks

Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata, Wahai saudaraku, sesungguhnya Islam adalah darah dagingmu, tangisilah dirimu dan sayangilah ia, jika kamu tidak menyayangi maka tidak akan disayang. Hendaknya yang menjadi temanmu adalah orang yang mengajakmu berzuhud terhadap dunia dan cinta terhadap akhirat. Perbanyaklah mengingat mati, perbanyaklah memohon ampun atas dosa-dosamu yang telah lalu dan mohonlah keselamatan kepada Allah dalam menjalani sisa-sisa umurmu.
Dinukil dari Imam yang zuhud, ahli ibadah dan wara' bernama Sufyan Ats-Tsauri dari wasiat-wasiat, nasihat dan kalimat yang penuh hikmah yang bertebaran dalam kitab-kitab Thabaqat, biografi para ulama dlan kitab-kitab berharga lainnya. Seluruh apa yang beliau nasihatkan begitu berharga, memancar di dalamnya ruh yang khusyu' dan bercahaya. Di antara nasihat yang paling berharga dari Sufyan Ats-Tsauri adalah wasiat yang beliau tulis untuk sebagian saudara beliau, yang meminta nasihat dan wejangan dari beliau. Di antaranya tertulis: Janganlah engkau mengambil ilmu agama melainkan kepada orang yang sangat cinta kepada agamanya, karena perumpamaan orang yang tidak mencintai agamanya bagaikan dokter yang sakit dan tidak mampu mengobati penyakit pada dirinya. Bagaimana mungkin ia akan mengobati orang lain dan menasihatinya? Wahai saudaraku, sesungguhnya Islam adalah darah dagingmu, tangisilah dirimu dan sayangilah ia, jika kamu tidak menyayangi maka tidak akan disayang. Hendaknya yang menjadi temanmu adalah orang yang mengajakmu berzuhud terhadap dunia dan cinta terhadap akhirat. Perbanyaklah mengingat mati, perbanyaklah memohon ampun atas dosa-dosamu yang telah lalu dan mohonlah keselamatan kepada Allah dalam menjalani sisa-sisa umurmu. Imam Ats-Tsaury telah menjelaskan bahwasanya mempelajari Islam pada selain ahli wara' dan taqwa merupakan pengkhianatan terhadap diri sendiri, mampukah seorang dokter yang tak mampu mengobati dirinya sendiri dia akan dapat mengobati orang lain? Betapa tepatnya perumpamaan Imam ini tentang agama sebagaimana darah dan daging, karena agama yang benar adalah ruh manusia dan intinya, maka apabila agama ini lenyap seakan-akan bukan dikatakan sebagai manusia lagi. Sebagaimana jika manusia telah hilang darah dan dagingnya, dapatkah ia disebut sebagai manusia? Sesungguhnya orang-orang yang menyeru kaum muslimin hari ini untuk mengikuti ajaran sekulerisme, mereka telah mendudukkan sampah ke derajat agama, menipu kaum muslimin bahwa mereka mampu hidup tanpa Islam dan mengambil sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Akan tetapi nasihat Sufyan Ats-Tsaury sebagai sanggahan terhadap pemikiran atheis yang meremehkan pengaruh Islam dalam kehidupan manusia. Apakah yang dilakukan oleh seoarang muslim bila telah meyakini bahwa agamanya adalah dasar yang menjadikan dia ada dan inti dari hidupnya? (tentulah ia akan berkata):
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ * لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama meyerahkan diri (kepada Allah) (Al-An'am: 162-163) Sesungguhnya kemuliaan umat Islam akan terwujud manakala ada orang-orang yang yakin bahwa Islam adalah darah dan dagingnya bahkan manakah yang lebih berharga antara darah dan daging dengan ruh dan jiwa? Sekali-kali umat Islam ini tidak akan kembali berjaya, tegak, berkuasa dengan lurus bagi manusia melainkan jika mereka kembali mengambil pelajaran sebagaimana yang dikatakan oleh Imam ini, menguatkan ikatannya terhadap Islam dan meletakkannya pada tempat yang semestinya dalam rangka membina pribadi dan mengatur masyarakat. Sungguh sangat mengherankan orang-orang yang terkena fitnah dan provokasi dari orang yang merendahkan martabat Islam, melecehkan orang-orang yang berpegang teguh dengannya. Mereka tak lebih dari para pembeo orang-orang atheis yang tidak pernah merasakan lezatnya iman dan ketenangan dengan hidayah Islam. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang sesat yang ingin menyebarkan kesesatan tersebut kepada setiap hati. Diambil dari Haakadza..Tahaddatsas Salaf edisi bahasa Indonesia Potret Kehidupan Para Salaf karya Dr. Musthafa Abdul Wahid. Penerbit : At-Tibyan

Pernikahan

Ada Apa Dibalik Pernikahan ?
Nikah. Untuk satu kata ini, banyak pandangan sekaligus komentar yang berkaitan dengannya. Bahkan sehari-hari pun, sedikit atau banyak, tentu pembicaraan kita akan bersinggungan dengan hal yang satu ini. Tak terlalu banyak beda, apakah di majelisnya para lelaki, pun di majelisnya wanita. Sedikit diantara komentar yang bisa kita dengar dari suara-suara di sekitar, diantaranya ada yang agak sinis, yang lain merasa keberatan, menyepelekan, atau cuek-cuek saja.
Mereka yang menyepelekan nikah, bilang "Apa tidak ada alternatif yang lain selain nikah ?", atau "Apa untungnya nikah?".
Bagi yang merasa berat pun berkomentar "Kalau sudah nikah, kita akan terikat alias tidak bebas", semakna dengan itu "Nikah ! Jelasnya bikin repot, apalagi kalau sudah punya anak".
Yang lumayan banyak 'penggemarnya' adalah yang mengatakan "Saya pingin meniti karier terlebih dahulu, nikah bagi saya itu gampang kok".
Terakhir, para orang tua pun turut memberi nasihat untuk anak-anaknya "Kamu nggak usah buru-buru menikah, cari duit dulu yang banyak".
Ironisnya bersamaan dengan banyak orang yang 'enggan' nikah, ternyata angka perzinaan atau 'kecelakaan" semakin meninggi ! Itu beberapa pandangan orang tentang pernikahan. Tentu saja tidak semua orang berpandangan seperti itu. Sebagai seorang muslim tentu kita akan berupaya menimbang segalanya sesuai dengan kaca mata islam. Apa yang dikatakan baik oleh syariat kita, pastinya baik bagi kita. Sebaliknya, bila islam bilang sesuatu itu jelek pasti jelek bagi kita. Karena pembuat syariat, yaitu Allah adalah yang menciptakan kita, yang tentu saja lebih tahu mana yang baik dan mana yang buruk bagi kita.
Persoalan yang mungkin muncul di tengah masyarakat kita sehingga timbul berbagai komentar seperti di atas, tak lepas dari kesalahpahaman atau ketidaktahuan seseorang tentang tujuan nikah itu sendiri.
Nikah di dalam pandangan islam, memiliki kedudukan yang begitu agung. Ia bahkan merupakan sunnah (ajaran) para nabi dan rasul, seperti firman Allah :
"dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan" (QS Ar-ra'd : 38)
Sedikit memberikan gambaran kepada kita, nikah di dalam ajaran islam memiliki beberapa tujuan yang mulia, diantaranya :
Nikah dimaksudkan untuk menjaga keturunan, mempertahankan kelangsungan generasi manusia. Tak hanya untuk memperbanyak generasi saja, namun tujuan dari adanya kelangsungan generasi tersebut adalah tetap tegaknya generasi yang akan membela syariat Allah, meninggikan dienul islam , memakmurkan alam dan memperbaiki bumi.
Memelihara kehormatan diri, menghindarkan diri dari hal-hal yang diharamkan, sekaligus menjaga kesucian diri.
Mewujudkan maksud pernikahan yang lain, seperti menciptakann ketenangan, ketenteraman. Kita bisa menyaksikan begitu harmoninya perpaduan antara kekuatan laki-laki dan kelembutan seorang wanita yang diikat dengan tali pernikahan, sungguh merupakan perpaduan yang begitu sempurna.
Pernikahan pun menjadi sebab kayanya seseorang, dan terangkatnya kemiskinannya. Nikah juga mengangkat wanita dan pria dari cengkeraman fitnah kepada kehidupan yang hakiki dan suci (terjaga). Diperoleh pula kesempurnaan pemenuhan kebutuhan biologis dengan jalan yang disyariatkan oleh Allah. Sebuah pernikahan, mewujudkan kesempurnaan kedua belah pihak dengan kekhususannya. Tumbuh dari sebuah pernikahan adanya sebuah ikatan yang dibangun di atas perasaan cinta dan kasih sayang.
"Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir" (QS Ar Ruum : 21)
Itulah beberapa tujuan mulia yang dikehendaki oleh Islam. Tentu saja tak keluar dari tujuan utama kehidupan yaitu beribadah kepada Allah

Imam Maliki

BiografiImam Malik
Nama dan NasabnyaAbu Abdillah Malik bin Anas al Ashbahi, Imam darul Hijroh.
KelahirannyaBeliau lahir di Madinah al Munawwaroh tahun 93 h dan tumbuh besar di Madinah
Guru-gurunyaNafi' al Muqbiri, Na'imul Majmar, az Zuhri, Amir bin abdillah bin az Zubair, Ibnul Mungkadir, Abdullah bin Dinar dan lain-lain.
Murid-miridnyaIbnul Mubarak, al Qothon, Ibnu Mahdi, Ibnu wahb, Ibnu Qosim, al Qo'nabi, Abdullah bin Yusuf, Said bin Manshur, Yahya bin Yahya, an Naisaburi, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah abu Mus'ab, az Aubairi dan Abu Hudzafah as Sahmi.
Pujian-pujian ulama
Berkata imam Syafi'I : jika disebut (nama-nama) ulama, maka Imam Malik adalah bintangnya.
Beliau juga berkata : kalau bukan karena (perantara) Malik dan Uyaimah niscaya hilang ilmu yang ada di Hijaz.
Ibnu Wahb berkata : kalau bukan karena (perantara)Malik dan Al Laih niscaya kita akan sesat
Berkata Abdurrahman bin Waqid : aku melihat pitu Malik di Madinah seperti pintu amir.
Berkata al La'nabi : ketika aku bersama Uyainah (telah sampai kepadanya berita kematian Malik) dalam keadaan sedih beliau berkata : tidak ada seorangpun di muka bumi seperti beliau.
Berkata Syu'bah : saya datang ke Madinah setahun setelah kematian Nafi' (ternyata sudah) ada halaqoh Malik
Berkata Syafi'I : tidak ada kitab ilmu di bumi yang paling banyak benarnya dari pada kitab Muwathah Imam Malik.
Perkataan-perkataan beliau :
Allah ada di langit dan mengetahui setiap tempat
Istiwa (bersemayam) itu ma'lum (diketahui) Kaifiyah (bagaimana bersemayamnya Allah) itu majhul (tidak di ketahui).
Beriman (bahwa Allah bersemayam) adalah wajib
Bertanya bagaimana Allah bersemayam hukumnya bid'ah
Aku tidak akan berfatwa sehingga ada 70 saksi yang mempersaksikan bahwa aku ahli (mengetahui) masalah tersebut.
Tidak ada seorangpun setelah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam yang berhak diambil dan di tinggalkan perkataannya kecuali Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam .
WafatnyaBeliau wafat pada 10 rabiul awal tahun 177

Imam Syafi'i

Imam Syafi'I
Nama dan NasabAbu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Safi'I dan bertemu nasabnya dengan nabi Muhammad dengan Abdul Manaf
KelahiranLahir pada tahun 150 H di Ghozah dan ibunya membawa beliau ke Mekkah setelah beliau berusia 2 tahun dan dari ibunya tersebut beliau belajar al qur'an
Guru-guruDiantara guru-guru beliau adalah paman beliau sendiri Muhammad bin Ali kemudian abdul Aziz bin Majisun dan kepada imam Malik beliau belajar Al Muwatho'
Kehidupan ilmiahPada usia 10 tahun beliau belajar bahasa dan syair hingga mantab. Kemudian belajar fiqih , hadis dan al qur'an kepada ismail bin qostantin, kemudian menghafal muwatho' dan mengujikannya kepada imam Malik. Imam Muslim bin Kholid mengijinkan beliau berfatwa ketika beliau berusia 10 tahun atau kurang. Menulis dari Muhammad bin Hasan ilmu fiqih. Imam Malik melihat kekuatan dan kecerdasan beliau sehingga memuliakan dan menjadikan Syafi'i sebagai orang dekatnya
Murid-muridDiantara murid beliau adalah imam Ahmad, Khumaidi, Abu Ubaid, Al Buthi, Abu Staur dan masih banyak yang lain.
Peranan dalam membela sunnahBeliau memeliki kedudukan tersendiri yang membedakan diantara ahlul hadis yang lain. Beliaulah yang meletakkan kaidah-kaidah riwayat pembelaan terhadap sunnah dan memiliki beberapa pendapat yang berbeda dengan imam Malik dan Abu Hanifah, yaitu bahwa sebuah hadis apabila sahih maka wajib mengamalkannya walaupun tidak dilakukan oleh ahlul madinah (seperti yang disyararatkan oleh imam Malik dan Abu Hanifah). Dengan ini beliau dijuluki nasirussunnah (penolong sunnah) dan tidaklah dapat diingkari oleh setiap yang menulis mustholah hadis dan pembahasan sunnah serta kitab ussul bahwa mereka mengikuti apa yang ditulis oleh safi'i.
Pokok pendapat beliauPokok pendapat beliau sebagaimana pendapat imam yang lain adalah beramal dengan kitab dan sunnah serta ijma'. Kelebihan beliau adalah beramal dengan kitab dan sunnah seta ijma' lebih luas dari pada imam Malik dan Abu Hanifah karena beliau menerima hadis ahad
Perkataan ulama' tentang beliauPara ulama' ahlul hadis dijaman ini apabila berkata maka mereka berkata menggunakan perkataan imam Syafi'i. Imam Ahmad berkata, 'tidaklah ada orang yang menyentuh pena dan tinta kecuali Syafi'i. Dan tidaklah kita mengetahui sesuatu yang global dari tafsir dan nasih mansuh dari hadis kecuali setelah duduk bersama imam Syafi'i."Ahmad bin hambal pernah berkata pada ishaq bin rokhuyah "kemarilah aku tunjukkan kepadamu seorang laki-laki yang engkau belum pernah melihat yang semisalnya maka dia membawaku kepada imam syafi'i."
Perkataan imam syafi'i
tidaklah saya berdebat dengan seseorang kecuali agar ia tepat , benar dan tertolong dan ia mendaptkan penjagaan serta pengawasan Allah dan tidaklah saya berdebat dengan seseorang kecuali saya tidak perduli apakah Allah akan menjelaskan kebenaran dari mulutju atau mulut dia.
amalan yang paling hebat ialah dermawan dalam kondisi sempit, menjaga diri ketika sendirian dan mengucapkan kalimat yang benar dihadan orang yang berharap dan yang takut
bantulah dalam berkata dengan diam dan mengambil hukum dengan berfikir
barang siapa belajar al qur'an maka ia akan agung dipandangan manusia, barang siapa yang belajar hadis akan kuat hujjahnya , barang siapa yang belajar nahwu maka dia akan dicari, barang siapa yang belajar bahasa arab akan lembut tabiatnya, barang siapa yang belajar ilmu hitung akan banyak fikirannya, barang siapa belajar fiqih akan tinggi keddukannya, barang siapa yang tidak mampu menahan dirinya maka tidak bermanfaat ilmunya dan inti dari itu semua adalah taqwa.
Wafat beliauWafat pada tahun 204 H. setelah memenuhi dunia dengan ilmu dan ijtihad beliau dan memenuhi hati-hati manusia dengan cinta pengagungan dan kecondongan paada beliau

Rukun Islam

Rukun Islam
Materi aqidah kali ini membahas tentang rukun islam. Meski telah sering kita dengar, namun ada baiknya kita kembali ulang, untuk memantapkan pemahaman kita. Dalil yang berkaitan dengan rukun islam ini diantaranya:
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar -semoga Allah meridloinya- : Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :
'Islam dibangun di atas 5 rukun, yaitu : Syahadat bahwa tiada illah selain Allah dan Muhammad adalah rosul Allah, Mendirikan shalat, Membayar zakat, Puasa ramadhan, dan Barhaji ke Baitullah al Haram'.
Sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar bin Khathab -semoga Allah meridloinya- ketika Jibril datang dan bertanya tentang Islam kemudian beliau menjawab;
'Islam adalah Bersyahadat bahwa tiada illah selain Allah dan Muhammad adalah rosul Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa ramadhan, berhaji jika mampu dalam perjalanannya'.
Al Qur'an surat Ali Imran : 18 :
"Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang berilmu (juga menyatakan yang demikian). Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Al Qur'an surat At Taubah : 128 :
" sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rosul dari kamu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat mengiginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin."
Al Qur'an surat Al Bayyinah :5 :
"padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya lagi bersikap lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat serta mengeluarkan zakat. Demikian itulah tuntunan agama yang lurus."
Al Qur'an surat Al Baqarah : 183 :
" wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa."
Al Qur'an surat Ali Imran : 97
" padanya terdapat tanda-tanda nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim ; barangsiapa yang memasuki (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa yang mengingkari (kewajiban haji) maka sungguh Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam."
Islam sendiri secara bahasa berarti : tunduk dan patuh.Sedangkan secara istilah : memperlihatkan kepatuhan - ketundukan dan menampakkan syariat dengan berpegang pada apa yang datang dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam sehingga darahnya terlindungi.
Pengertian islam ada 2 :
Pengertian Umum : pengertian ini mencakup semua zaman sehingga nabi Ibrahim disebut muslim pada zamannya, kaum Nabi Musa juga disebut muslim pada zamannya begitu juga kaumnya nabi Isa di sebut muslim pada zamannya. Karena mereka tunduk pada syariat Allah yang diturunkan melalui rosul-rosulNya.
Pengertian Khusus : mengkhususkan pada syariat nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam saja yang di sebut islam. Sehingga umat Muhammad saja yang di sebut muslim sedangkan kaum yahudi dan nasrani tidak disebut muslim mereka hanya di sebut ahlu kitab. Kondisi ini terjadi pada saat sekarang ini.

Islam :Agama Yg Berkembang Paling Pesat Di Eropa

Islam: Agama yang Berkembang Paling Pesat di Eropa
HARUN YAHYA
Kirim artikel ini

Selama 20 tahun terakhir, jumlah kaum Muslim di dunia telah meningkat secara perlahan. Angka statistik tahun 1973 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Muslim dunia adalah 500 juta; sekarang, angka ini telah mencapai 1,5 miliar. Kini, setiap empat orang salah satunya adalah Muslim. Bukanlah mustahil bahwa jumlah penduduk Muslim akan terus bertambah dan Islam akan menjadi agama terbesar di dunia. Peningkatan yang terus-menerus ini bukan hanya dikarenakan jumlah penduduk yang terus bertambah di negara-negara Muslim, tapi juga jumlah orang-orang mualaf yang baru memeluk Islam yang terus meningkat, suatu fenomena yang menonjol, terutama setelah serangan terhadap World Trade Center pada tanggal 11 September 2001. Serangan ini, yang dikutuk oleh setiap orang, terutama umat Muslim, tiba-tiba saja telah mengarahkan perhatian orang (khususnya warga Amerika) kepada Islam. Orang di Barat berbicara banyak tentang agama macam apakah Islam itu, apa yang dikatakan Al Qur'an, kewajiban apakah yang harus dilaksanakan sebagai seorang Muslim, dan bagaimana kaum Muslim dituntut melaksanakan urusan dalam kehidupannya. Ketertarikan ini secara alamiah telah mendorong peningkatan jumlah warga dunia yang berpaling kepada Islam. Demikianlah, perkiraan yang umum terdengar pasca peristiwa 11 September 2001 bahwa "serangan ini akan mengubah alur sejarah dunia", dalam beberapa hal, telah mulai nampak kebenarannya. Proses kembali kepada nilai-nilai agama dan spiritual, yang dialami dunia sejak lama, telah menjadi keberpalingan kepada Islam.
Hal luar biasa yang sesungguhnya sedang terjadi dapat diamati ketika kita mempelajari perkembangan tentang kecenderungan ini, yang mulai kita ketahui melalui surat-surat kabar maupun berita-berita di televisi. Perkembangan ini, yang umumnya dilaporkan sekedar sebagai sebuah bagian dari pokok bahasan hari itu, sebenarnya adalah petunjuk sangat penting bahwa nilai-nilai ajaran Islam telah mulai tersebar sangat pesat di seantero dunia. Di belahan dunia Islam lainnya, Islam berada pada titik perkembangan pesat di Eropa. Perkembangan ini telah menarik perhatian yang lebih besar di tahun-tahun belakangan, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak tesis, laporan, dan tulisan seputar "kedudukan kaum Muslim di Eropa" dan "dialog antara masyarakat Eropa dan umat Muslim." Beriringan dengan berbagai laporan akademis ini, media massa telah sering menyiarkan berita tentang Islam dan Muslim. Penyebab ketertarikan ini adalah perkembangan yang terus-menerus mengenai angka populasi Muslim di Eropa, dan peningkatan ini tidak dapat dianggap hanya disebabkan oleh imigrasi. Meskipun imigrasi dipastikan memberi pengaruh nyata pada pertumbuhan populasi umat Islam, namun banyak peneliti mengungkapkan bahwa permasalahan ini dikarenakan sebab lain: angka perpindahan agama yang tinggi. Suatu kisah yang ditayangkan NTV News pada tanggal 20 Juni 2004 dengan judul "Islam adalah agama yang berkembang paling pesat di Eropa" membahas laporan yang dikeluarkan oleh badan intelejen domestik Prancis. Laporan tersebut menyatakan bahwa jumlah orang mualaf yang memeluk Islam di negara-negara Barat semakin terus bertambah, terutama pasca peristiwa serangan 11 September. Misalnya, jumlah orang mualaf yang memeluk Islam di Prancis meningkat sebanyak 30 hingga 40 ribu di tahun lalu saja.
Gereja Katolik dan Perkembangan Islam
Gereja Katolik Roma, yang berpusat di kota Vatican, adalah salah satu lembaga yang mengikuti fenomena tentang kecenderungan perpindahan agama. Salah satu pokok bahasan dalam pertemuan bulan Oktober 1999 muktamar gereja Eropa, yang dihadiri oleh hampir seluruh pendeta Katolik, adalah kedudukan Gereja di milenium baru. Tema utama konferensi tersebut adalah tentang pertumbuhan pesat agama Islam di Eropa. The National Catholic Reporter melaporkan sejumlah orang garis keras menyatakan bahwa satu-satunya cara mencegah kaum Muslim mendapatkan kekuatan di Eropa adalah dengan berhenti bertoleransi terhadap Islam dan umat Islam; kalangan lain yang lebih objektif dan rasional menekankan kenyataan bahwa oleh karena kedua agama percaya pada satu Tuhan, sepatutnya tidak ada celah bagi perselisihan ataupun persengketaan di antara keduanya. Dalam satu sesi, Uskup Besar Karl Lehmann dari Jerman menegaskan bahwa terdapat lebih banyak kemajemukan internal dalam Islam daripada yang diketahui oleh banyak umat Nasrani, dan pernyataan-pernyataan radikal seputar Islam sesungguhnya tidak memiliki dasar. (1)
Mempertimbangkan kedudukan kaum Muslim di saat menjelaskan kedudukan Gereja di milenium baru sangatlah tepat, mengingat pendataan tahun 1999 oleh PBB menunjukkan bahwa antara tahun 1989 dan 1998, jumlah penduduk Muslim Eropa meningkat lebih dari 100 persen. Dilaporkan bahwa terdapat sekitar 13 juta umat Muslim tinggal di Eropa saat ini: 3,2 juta di Jerman, 2 juta di Inggris, 4-5 juta di Prancis, dan selebihnya tersebar di bagian Eropa lainnya, terutama di Balkan. Angka ini mewakili lebih dari 2% dari keseluruhan jumlah penduduk Eropa. (2)
Kesadaran Beragama di Kalangan Muslim Meningkat di Eropa
Penelitian terkait juga mengungkap bahwa seiring dengan terus meningkatnya jumlah Muslim di Eropa, terdapat kesadaran yang semakin besar dalam menjalankan agama di kalangan para mahasiswa. Menurut survei yang dilakukan oleh surat kabar Prancis Le Monde di bulan Oktober 2001, dibandingkan data yang dikumpulkan di tahun 1994, banyak kaum Muslims terus melaksanakan sholat, pergi ke mesjid, dan berpuasa. Kesadaran ini terlihat lebih menonjol di kalangan mahasiswa universitas.(3)
Dalam sebuah laporan yang didasarkan pada media masa asing di tahun 1999, majalah Turki Aktüel menyatakan, para peneliti Barat memperkirakan dalam 50 tahun ke depan Eropa akan menjadi salah satu pusat utama perkembangan Islam.
Islam adalah Bagian Tak Terpisahkan dari Eropa
Bersamaan dengan kajian sosiologis dan demografis ini, kita juga tidak boleh melupakan bahwa Eropa tidak bersentuhan dengan Islam hanya baru-baru ini saja, akan tetapi Islam sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari Eropa.
Eropa dan dunia Islam telah saling berhubungan dekat selama berabad-abad. Pertama, negara Andalusia (756-1492) di Semenanjung Iberia, dan kemudian selama masa Perang Salib (1095-1291), serta penguasaan wilayah Balkan oleh kekhalifahan Utsmaniyyah (1389) memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik antara kedua masyarakat itu. Kini banyak pakar sejarah dan sosiologi menegaskan bahwa Islam adalah pemicu utama perpindahan Eropa dari gelapnya Abad Pertengahan menuju terang-benderangnya Masa Renaisans. Di masa ketika Eropa terbelakang di bidang kedokteran, astronomi, matematika, dan di banyak bidang lain, kaum Muslim memiliki perbendaharaan ilmu pengetahuan yang sangat luas dan kemampuan hebat dalam membangun.
Bersatu pada Pijakan Bersama: "Monoteisme"
Perkembangan Islam juga tercerminkan dalam perkembangan dialog antar-agama baru-baru ini. Dialog-dialog ini berawal dengan pernyataan bahwa tiga agama monoteisme (Islam, Yahudi, dan Nasrani) memiliki pijakan awal yang sama dan dapat bertemu pada satu titik yang sama. Dialog-dialog seperti ini telah sangat berhasil dan membuahkan kedekatan hubungan yang penting, khususnya antara umat Nasrani dan Muslim. Dalam Al Qur'an, Allah memberitahukan kepada kita bahwa kaum Muslim mengajak kaum Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi) untuk bersatu pada satu pijakan yang disepakati bersama:
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." (QS. Ali 'Imran, 3: 64)
Ketiga agama yang meyakini satu Tuhan tersebut memiliki keyakinan yang sama dan nilai-nilai moral yang sama. Percaya pada keberadaan dan keesaan Tuhan, malaikat, Nabi, Hari Akhir, Surga dan Neraka, adalah ajaran pokok keimanan mereka. Di samping itu, pengorbanan diri, kerendahan hati, cinta, berlapang dada, sikap menghormati, kasih sayang, kejujuran, menghindar dari berbuat zalim dan tidak adil, serta berperilaku mengikuti suara hati nurani semuanya adalah sifat-sifat akhak terpuji yang disepakati bersama. Jadi, karena ketiga agama ini berada pada pijakan yang sama, mereka wajib bekerja sama untuk menghapuskan permusuhan, peperangan, dan penderitaan yang diakibatkan oleh ideologi-ideologi antiagama. Ketika dilihat dari sudut pandang ini, dialog antar-agama memegang peran yang jauh lebih penting. Sejumlah seminar dan konferensi yang mempertemukan para wakil dari agama-agama ini, serta pesan perdamaian dan persaudaraan yang dihasilkannya, terus berlanjut secara berkala sejak pertengahan tahun 1990-an.
Kabar Gembira tentang Datangnya Zaman Keemasan
Dengan mempertimbangkan semua fakta yang ada, terungkap bahwa terdapat suatu pergerakan kuat menuju Islam di banyak negara, dan Islam semakin menjadi pokok bahasan terpenting bagi dunia. Perkembangan ini menunjukkan bahwa dunia sedang bergerak menuju zaman yang sama sekali baru. Yaitu sebuah zaman yang di dalamnya, insya Allah, Islam akan memperoleh kedudukan penting dan ajaran akhlak Al Qur'an akan tersebar luas. Penting untuk dipahami, perkembangan yang sangat penting ini telah dikabarkan dalam Al Qur'an 14 abad yang lalu:
Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai. (QS. At Taubah, 9: 32-33)
Tersebarnya akhlak Islami adalah salah satu janji Allah kepada orang-orang yang beriman. Selain ayat-ayat ini, banyak hadits Nabi kita SAW menegaskan bahwa ajaran akhlak Al Qur'an akan meliputi dunia. Di masa-masa akhir menjelang berakhirnya dunia, umat manusia akan mengalami sebuah masa di mana kezaliman, ketidakadilan, kepalsuan, kecurangan, peperangan, permusuhan, persengketaan, dan kebobrokan akhlak merajalela. Kemudian akan datang Zaman Keemasan, di mana tuntunan akhlak ini mulai tersebar luas di kalangan manusia bagaikan naiknya gelombang air laut pasang dan pada akhirnya meliputi seluruh dunia. Sejumlah hadits ini, juga ulasan para ulama mengenai hadits tersebut, dipaparkan sebagaimana berikut:
Selama [masa] ini, umatku akan menjalani kehidupan yang berkecukupan dan terbebas dari rasa was-was yang mereka belum pernah mengalami hal seperti itu. [Tanah] akan mengeluarkan panennya dan tidak akan menahan apa pun dan kekayaan di masa itu akan berlimpah. (Sunan Ibnu Majah)
… Penghuni langit dan bumi akan ridha. Bumi akan mengeluarkan semua yang tumbuh, dan langit akan menumpahkan hujan dalam jumlah berlimpah. Disebabkan seluruh kebaikan yang akan Allah curahkan kepada penduduk bumi, orang-orang yang masih hidup berharap bahwa mereka yang telah meninggal dunia dapat hidup kembali. (Muhkhtasar Tazkirah Qurtubi, h. 437)
Bumi akan berubah seperti penampan perak yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan ... (Sunan Ibnu Majah)
Bumi akan diliputi oleh kesetaraan dan keadilan sebagaimana sebelumnya yang diliputi oleh penindasan dan kezaliman. (Abu Dawud)
Keadilan akan demikian jaya sampai-sampai semua harta yang dirampas akan dikembalikan kepada pemiliknya; lebih jauh, sesuatu yang menjadi milik orang lain, sekalipun bila terselip di antara gigi-geligi seseorang, akan dikembalikan kepada pemiliknya… Keamanan meliputi seluruh Bumi dan bahkan segelintir perempuan bisa menunaikan haji tanpa diantar laki-laki. (Ibn Hajar al Haitsami: Al Qawlul Mukhtasar fi `Alamatul Mahdi al Muntazar, h. 23)
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, Zaman Keemasan akan merupakan suatu masa di mana keadilan, kemakmuran, keberlimpahan, kesejahteraan, rasa aman, perdamaian, dan persaudaraan akan menguasai kehidupan umat manusia, dan merupakan suatu zaman di mana manusia merasakan cinta, pengorbanan diri, lapang dada, kasih sayang, dan kesetiaan. Dalam hadits-haditsnya, Nabi kita SAW mengatakan bahwa masa yang diberkahi ini akan terjadi melalui perantara Imam Mahdi, yang akan datang di Akhir Zaman untuk menyelamatkan dunia dari kekacauan, ketidakadilan, dan kehancuran akhlak. Ia akan memusnahkan paham-paham yang tidak mengenal Tuhan dan menghentikan kezaliman yang merajalela. Selain itu, ia akan menegakkan agama seperti di masa Nabi kita SAW, menjadikan tuntunan akhlak Al Qur'an meliputi umat manusia, dan menegakkan perdamaian dan menebarkan kesejahteraan di seluruh dunia.
Kebangkitan Islam yang sedang dialami dunia saat ini, serta peran Turki di era baru merupakan tanda-tanda penting bahwa masa yang dikabarkan dalam Al Qur'an dan dalam hadits Nabi kita sangatlah dekat. Besar harapan kita bahwa Allah akan memperkenankan kita menyaksikan masa yang penuh berkah ini.
Rujukan: 1. "Europe's Muslims Worry Bishops," National Catholic Reporter, 22 Oktober 19992. "Muslims in Europe," The Economist, 18 Oktober 2001.3. Time, 24 Desember 2001.
KATA MUTIARA ORANG TERKENAL

Cara Blokir Situs Porno Untuk Windows XP

  1. Pilih Control Panel dari Start menu.
  2. Klik Network Connections yang ada di Control Panel.
  3. Pilih koneksi yang ada dari jendela Network Connections.
  4. Klik tombol Properties.
  5. Pilih lah Internet Protocol (TCP/IP) dan klik Properties.
  6. Klik radio button pada Use the following DNS server addresses dan ketikkan alamat DNS Nawala pada kolom Preferred DNS server dan Alternate DNS server.
  7. Masukan DNS Server : 180.131.144.144 dan Masukan Alternate DNS Server : 180.131.145.145
  8. Semoga Bermanfaat untuk keselamatan anak-2 anda, Amin, Nawala Project

Setujukah Jika Presiden RI Yg Akan Datang Dijabat Oleh Tokoh Muda Di Bawah Usia 50 Tahun ?

detiknews - detiknews